Minggu, 11 Desember 2016

Artikel, Cerpen, Novel, Puisi Bencana Alam



ARTIKEL, NOVEL, CERPEN, PUISI BENCANA ALAM
Gempa Bumi, Tsunami dan Tanah longsor

Gempa bumi
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEijaBC9UZ-WmeCfRjKk3-5-og8WVyD3Btnx7hUboBnAy-M7CpGroWJm-K2LkSDUMoipymEFhkQQ0mPOHGHCW7kCrVt5aV_Ax2J9RBhwP_s33cUPHhQuMpgkai-dC5d4-8MtNRvvqaroGqU/s1600/gempa-bumi-03jpg.gif
Gempa bumi adalah getaran atau guncangan yang terjadi di permukaan bumi akibat pelepasan energi dari dalam secara tiba-tiba yang menciptakan gelombang seismik. Gempa Bumi biasa disebabkan oleh pergerakan kerak Bumi (lempeng Bumi). Frekuensi suatu wilayah, mengacu pada jenis dan ukuran gempa Bumi yang di alami selama periode waktu. Gempa Bumi diukur dengan menggunakan alat Seismometer. Moment magnitudo adalah skala yang paling umum di mana gempa Bumi terjadi untuk seluruh dunia. Skala Rickter adalah skala yang di laporkan oleh observatorium seismologi nasional yang di ukur pada skala besarnya lokal 5 magnitude. kedua skala yang sama selama rentang angka mereka valid. gempa 3 magnitude atau lebih sebagian besar hampir tidak terlihat dan besar nya 7 lebih berpotensi menyebabkan kerusakan serius di daerah yang luas, tergantung pada kedalaman gempa. Intensitas getaran diukur pada modifikasi Skala Mercalli.
Jenis-jenis gempa bumi:
      Gempa bumi tektonik
Gempa Bumi ini disebabkan oleh adanya aktivitas tektonik, yaitu pergeseran lempeng-lempeng tektonik secara mendadak yang mempunyai kekuatan dari yang sangat kecil hingga yang sangat besar. Gempa bumi ini banyak menimbulkan kerusakan atau bencana alam di Bumi, getaran gempa Bumi yang kuat mampu menjalar keseluruh bagian Bumi. Gempa bumi tektonik disebabkan oleh pelepasan tenaga yang terjadi karena pergeseran lempengan plat tektonik seperti layaknya gelang karet ditarik dan dilepaskan dengan tiba-tiba.
      Gempa bumi tumbukan
Gempa Bumi ini diakibatkan oleh tumbukan meteor atau asteroid yang jatuh ke Bumi, jenis gempa Bumi ini jarang terjadi
      Gempa bumi runtuhan
Gempa Bumi ini biasanya terjadi pada daerah kapur ataupun pada daerah pertambangan, gempabumi ini jarang terjadi dan bersifat lokal.
      Gempa bumi vulkanik (gunung api)
Gempa Bumi ini terjadi akibat adanya aktivitas magma, yang biasa terjadi sebelum gunung api meletus. Apabila keaktifannya semakin tinggi maka akan menyebabkan timbulnya ledakan yang juga akan menimbulkan terjadinya gempa bumi. Gempa bumi tersebut hanya terasa di sekitar gunung api tersebut.
Tsunami
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgjEeDiI3JcU9e3ehbzgaeDs4BS6if5wB4RNOa3hvCh0287OHd_USryFKDs3zRgSsA-6wKQLCVw9g4Gx29-AFAdF5e1kdciIeBlhnOrCmUohtX4l7nHCShx5t6ijEnokMGMDr2W7DdfgEw/s320/tsunami.jpgTsunami (bahasa Jepang: tsu = pelabuhan, nami = gelombang, secara harafiah berarti "ombak besar di pelabuhan") adalah perpindahan badan air yang disebabkan oleh perubahan permukaan laut secara vertikal dengan tiba-tiba. Perubahan permukaan laut tersebut bisa disebabkan oleh gempa bumi yang berpusat di bawah laut, letusan gunung berapi bawah laut, longsor bawah laut, atau atau hantaman meteor di laut. Gelombang tsunami dapat merambat ke segala arah. Tenaga yang dikandung dalam gelombang tsunami adalah tetap terhadap fungsi ketinggian dan kelajuannya. Di laut dalam, gelombang tsunami dapat merambat dengan kecepatan 500-1000 km per jam. Setara dengan kecepatan pesawat terbang. Ketinggian gelombang di laut dalam hanya sekitar 1 meter. Dengan demikian, laju gelombang tidak terasa oleh kapal yang sedang berada di tengah laut. Ketika mendekati pantai, kecepatan gelombang tsunami menurun hingga sekitar 30 km per jam, namun ketinggiannya sudah meningkat hingga mencapai puluhan meter. Hantaman gelombang Tsunami bisa masuk hingga puluhan kilometer dari bibir pantai. Kerusakan dan korban jiwa yang terjadi karena Tsunami bisa diakibatkan karena hantaman air maupun material yang terbawa oleh aliran gelombang tsunami.
Dampak negatif yang diakibatkan tsunami adalah merusak apa saja yang dilaluinya. Bangunan, tumbuh-tumbuhan, dan mengakibatkan korban jiwa manusia serta menyebabkan genangan, pencemaran air asin lahan pertanian, tanah, dan air bersih.
Sejarawan Yunani bernama Thucydides merupakan orang pertama yang mengaitkan tsunami dengan gempa bawah laut. Namun hingga abad ke-20, pengetahuan mengenai penyebab tsunami masih sangat minim. Penelitian masih terus dilakukan untuk memahami penyebab tsunami.
geologi, geografi, dan oseanografi pada masa lalu menyebut tsunami sebagai "gelombang laut seismik".
Beberapa kondisi meteorologis, seperti badai tropis, dapat menyebabkan gelombang badai yang disebut sebagai meteor tsunami yang ketinggiannya beberapa meter di atas gelombang laut normal. Ketika badai ini mencapai daratan, bentuknya bisa menyerupai tsunami, meski sebenarnya bukan tsunami. Gelombangnya bisa menggenangi daratan. Gelombang badai ini pernah menggenangi Burma (Myanmar) pada Mei 2008.
Wilayah di sekeliling Samudra Pasifik memiliki Pacific Tsunami Warning Centre (PTWC) yang mengeluarkan peringatan jika terdapat ancaman tsunami pada wilayah ini. Wilayah di sekeliling Samudera Hindia sedang membangun Indian Ocean Tsunami Warning System (IOTWS) yang akan berpusat di Indonesia.

Tanah longsor
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjaSN1ACrqJ8kxWwgT0UlgbJ78rTpjtDZKXpLQjMNhJvl4ju6dq_zRgFUG1xi_vIB9M0hy25hWPMe7jgpFUDhykzi3Rs2oKhEwQiGf64A3QdhcnptBklQDO3RtqKpkceG2nhsEZEC5JJjw/s1600/tanah-longsor.jpg
Longsor atau sering disebut juga gerakan tanah adalah suatu peristiwa geologi yang terjadi karena pergerakan masa batuan atau tanah dengan berbagai tipe dan jenis seperti jatuhnya bebatuan atau gumpalan besar tanah. Secara umum kejadian longsor disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor pendorong dan faktor pemicu. Faktor pendorong adalah faktor-faktor yang memengaruhi kondisi material sendiri, sedangkan faktor pemicu adalah faktor yang menyebabkan bergeraknya material tersebut. Meskipun penyebab utama kejadian ini adalah gravitasi yang memengaruhi suatu lereng yang curam, namun ada pula faktor-faktor lainnya yang turut berpengaruh:
      erosi yang disebabkan aliran air permukaan atau air hujan, sungai-sungai atau gelombang laut yang menggerus kaki lereng-lereng bertambah curam.
             lereng dari bebatuan dan tanah diperlemah melalui saturasi yang diakibatkan hujan lebat.
      gempa bumi menyebabkan getaran, tekanan pada partikel-partikel mineral dan bidang lemah pada massa batuan dan tanah yang mengakibatkan longsornya lereng-lereng tersebut.
      gunung berapi menciptakan simpanan debu yang lengang, hujan lebat dan aliran debu-debu.
      getaran dari mesin, lalu lintas, penggunaan bahan-bahan peledak, dan bahkan petir.
      berat yang terlalu berlebihan, misalnya dari berkumpulnya hujan atau salju.

 
cerpen tsunami : pengantin mata biru
http://osolihin.net/wp-content/uploads/2011/11/Seorang-Perempuan-Menangis-disamping-Masjid-Agung-Aceh.jpgAKU menyusuri wilayah Desa Kuala Daya, Kecamatan Lamno, Aceh Jaya, dengan perasaan tak menentu. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di tanah rencong ini, pemandangan yang terhampar dihadapanku sungguh membuat batinku pilu dan tersentak. Betapa tidak, daerah pesisir pantai yang konon terkenal akan keindahannya itu, kini dibaluri warna coklat tua bercampur kering darah. Bangunan porak poranda, hanya menyisakan puing-puing tak berarti. Seonggok perahu tampak tergeletak di samping sebuah bangunan rumah yang telah luluh lantak. Beberapa bangkai perahu lainnya terserak di banyak tempat. Bau anyir mayat masih tercium dan meruap di udara.
Setelah usai bergelimang kesibukan membagi-bagikan bantuan logistik kepada korban tsunami daerah itu bersama rekan-rekan prajurit TNI sejak pagi hingga siang, aku berkesempatan melihat-lihat kondisi daerah tersebut lebih dekat. Senja mulai rebah ke peraduan dan matahari menyisakan redup sinarnya. Cahaya temaram sang raja siang itu begitu kontras dengan suasana muram di kampung nelayan yang terletak dikaki bukit Ujung Seudon tersebut. Kesunyian yang mencekam begitu terasa. Aku telah berjalan kurang lebih 1,5 kilometer dari basecamp. Dan terus berjalan.
Pada jarak kurang lebih dua meter dari tempatku berdiri, aku melihat sesosok lelaki muda dengan pakaian kumal duduk diatas sebongkah tembok bekas bangunan runtuh. Aku mendekati lelaki itu perlahan. Matanya menerawang seakan menembus garis batas cakrawala nun di ujung sana. Sekilas aku melihat sosok lelaki itu terlihat sedikit berbeda dengan lelaki korban pengungsi yang kutemui sebelumnya. Ia memiliki postur tubuh relatif jangkung, kulit putih kemerahan, rambut sedikit pirang, alis mata tebal dan bermata biru. Ya, bermata biru. Aku sedikit terkejut dan takjub menyaksikan keajaiban yang terjadi dihadapanku.
“Maaf, boleh saya duduk disini, disamping anda?” aku menyapa lelaki itu.
Lelaki itu tidak menjawab, lalu menggeser pantatnya ke kiri dan memberi ruang bagiku untuk duduk. Matanya masih menatap kosong kedepan.
Aku menelan ludah menata kegugupan yang datang mendera, lalu duduk di sampingnya. Sejenak kami diam seperti mencoba menebak arah pikiran masing-masing. Sekilas aku melirik sosok lelaki itu. Ia memiliki bentuk rahang yang tegas menonjol dan hamparan misai yang tumbuh kasar. Sebaris kumis tipis melintang tak rapi dibawah hidung mancungnya. Lingkaran hitam disekeliling mata gagal menyembunyikan pupil biru yang menyala redup.
“Datang dari Jakarta?” Tanya lelaki itu memecah kesenyapan diantara kami. Ia menatapku setengah hati.
“Ya, saya tiba tadi pagi dengan Kapal KRI Amboina 503.”
“Relawan ?”
Aku mengangguk.
“Dari LSM Nusantara Membangun. O, ya, kenalkan, nama saya Firman,” sahutku sambil mengulurkan tangan.
“Syamsuddin. Panggil saja Syam,” jawab lelaki itu seraya menyambut uluran tangan saya. Setelah itu, ia kembali mengalihkan pandangannya ke depan. Menerawang entah kemana.
“Sudah lama tinggal disini?” tanyaku hati-hati.
“Sejak lahir saya disini.” sahut Syam pelan. “Sampai menikah.” Nadanya terdengar getir.
Aku menangkap kesedihan menggelayut disana.
“Kami adalah pengantin bermata biru,” imbuh Syam seperti mengigau. Matanya kembali memandang kosong kedepan namun di pelupuknya terlihat bulir-bulir air mata mulai mengalir.
Seketika perasaan bersalah membebani hatiku. Tak urung, rasa penasaran mengiringi untuk mengetahui maksud dari “Pengantin Bermata Biru” itu.
Syam lalu mengusap air mata dengan punggung tangan dan memperbaiki letak duduknya. Dia lalu memandangku lekat. Mata birunya terlihat memiliki daya pukau luar biasa dalam remang senja yang muram. “Maafkan saya, bung Firman. Kalau Anda tidak keberatan, saya akan ceritakan maksud ucapan saya tadi,” kata Syam seperti bisa menebak arah pemikiranku saat ini. Aku mengangguk, “Tidak apa-apa, silakan. Sepanjang itu dapat mengurangi beban batin anda”, sahutku mencoba menghibur. Aku menatap matanya kembali mengalirkan keyakinan.
Syam menghela nafas lega. Ia tersenyum. Ketegangan yang tercipta sebelumnya diantara kami pun mencair. Dan cerita dari mulutnya mengalir lancar. Aku menyimaknya dengan antusias.
****
Dua puluh empat tahun silam, Syam lahir sebagai putera nelayan di Desa Kuala Daya dan merupakan anak sulung dari dua bersaudara . Adik bungsunya, Fatimah, yang lahir enam tahun kemudian turut menjadi korban keganasan tsunami bersama kedua orang tuanya. Mata biru yang dimilikinya merupakan jejak genetis dari kakek pihak ibunya yang berdarah Portugis.
Konon, menurut cerita ibundanya, setelah pelayaran berminggu-minggu dari tempat asal sekitar lima abad silam, kakek moyangnya bersama rekan-rekannya terdampar di Kerajaan Negeri Daya. Penguasa setempat saat itu, Pahlawan Syah, memerintahkan balatentaranya menemui pasukan Portugis yang terdampar tersebut. Tak ayal, perang pun pecah antara Balatentara Daya dan pasukan asing yang berambut pirang, berhidung mancung, dan berkulit putih. Akhirnya, tentara asing itu pun takluk di bawah kekuasaan balatentara Pahlawan Syah yang kemudian menawan mereka di sebuah kamp berpagar tinggi yang dikenal saat ini sebagai Kampung Meunanga. Pahlawan Syah yang ketika itu resah oleh perang sipil dengan beberapa kerajaan tetangga seperti Pase dan Pidie memanfaatkan keberadaan tentara Portugis, yang kebetulan mengerti soal senjata api, untuk membuat mesiu bagi armada perangnya. Karena tak ada pilihan lain, ditambah lagi tidak adanya bantuan dari negeri leluhur, mereka akhirnya tunduk pada perintah Pahlawan Syah dan hidup berbaur sebagai orang Daya. Beberapa diantaranya menjalin kasih dan kemudian menikah dengan penduduk setempat. Salah satu keturunan mereka diantaranya adalah keluarga Syam. Komunitas mereka dikenal sebagai “Bule Lamno”.
Meski berperawakan seperti “bule”, keluarga Syam yang hidup dari hasil melaut ini merupakan muslim yang taat dan penganut Islam yang fanatik. Mereka sempat mengalami tindakan diskriminatif karena dianggap berbeda dengan warga setempat. Itulah sebabnya, Fatimah, meski memiliki anugerah kecantikan yang luar biasa, sempat mengurung diri di rumah dalam waktu lama dan cenderung tertutup.
Keluarga Syam, termasuk keluarga “Bule Lamno” lainnya, tidak terlalu nyaman dengan sebutan yang beredar di masyarakat seperti si mata biru atau si rambut pirang. Hal ini disebabkan mereka telah tinggal di daerah yang sama selama berpuluh-puluh tahun serta mengerjakan aktifitas yang sama dengan penduduk asli. Sebagai ungkapan kekesalannya, Syam pernah menghitamkan rambut pirangnya dengan campuran minyak kelapa dan arang sukun agar perbedaan fisik dengan penduduk asli di sana tidak terlalu mencolok.
Sejak kecil, Syam sangat senang bermain-main di pesisir pantai bersama rekan-rekannya. Berlari di pasir putih dan menikmati debur ombak menghempas lembut di kaki merupakan suatu sensasi tersendiri. Mereka terkadang bermain bola diatas pasir dan merasakan betapa susahnya mengejar bola dengan kaki yang begitu berat dibebani himpitan pasir. Tsunami dashyat akhirnya menenggelamkan semua kenangan indahnya itu.
Namun kenangan yang tak akan tenggelam adalah tentang Aisyah, inong bermata biru yang telah membuat hatinya tertambat di sana. Wanita berparas jelita itu juga dianugerahi sepasang bola mata biru sebagai ciri khas menonjol komunitas “Bule Lamno”.
Mereka bertemu pertama kali saat penyelenggaraan upacara adatSeumeuleung sebagai peringatan syukuran penabalan Alauddin Riayat Syah sebagai Sultan di Negeri Daya yang kini menjadi Lamno. Sang Sultan kemudian bergelar Po Teumeurehom, yang sekarang makamnya di bukit Gle Jong dan kerap dikunjungi oleh ribuan peziarah. Penyelenggaraan acara ini bertepatan dengan hari raya Idul Adha.
Syam menemukan Aisyah ditengah sekelompok wanita muda yang sedang bercengkrama dan berjalan menyusuri pantai ditengah kemeriahan acara Seumeuleueng 2 tahun silam. Syam bersama kawan-kawannya kebetulan berpapasan dengan kelompok gadis itu.
Inong Tari Seudah Rupa [1], hendak kemana?” goda Hamzah salah seorang rekannya pada kelompok gadis itu.
Mereka tidak menjawab. Hanya tersenyum sebelum berlari kecil sambil tersipu. Syam sempat menangkap sosok seorang gadis berkerudung putih dan bermata biru seperti yang ia miliki. Pandangan mereka sempat bersirobok sesaat dan membuat hatinya bergetar hebat. Dia jodohku kelak, batin Syam.
Sejak pertemuan pertama tadi, Syam berusaha mencari tahu keberadaan Aisyah melalui adiknya Fatimah. Ternyata Aisyah adalah rekan sekelas Fatimah di SMU Lamno. Melalui adiknya, Syam menitip pesan untuk berkenalan namun tidak memperoleh tanggapan lebih lanjut. Tapi ia tidak kecewa. “Aisyah orangnya pemalu, Bang. Tapi salam abang buat dia sudah saya sampaikan,” kata Fatimah menjelaskan. Syam terus mencecar Fatimah tentang bagaimana reaksi Aisyah setelah menerima pesannya. Namun Fatimah hanya angkat bahu sembari tersenyum jenaka.
Saat musim Meuseuke Engkot [2], Syam yang sehari-harinya membantu ayahnya mencari ikan di laut dan hanya tamat SMA itu, beralih profesi menjadi pengemudi RBT [3]. Dengan meminjam motor seorang cukong dengan target setoran harian, Syam melakoni profesinya itu dengan tekun.
Di suatu siang yang terik beberapa bulan setelah mereka pertama kali bertemu, saat mengendarai motor RBT-nya, Syam melihat Aisyah tengah berjalan sendiri. Langkahnya terlihat bergegas. Syam lalu mendekati gadis itu dengan motornya.
“Terimakasih Bang, saya tidak mau naik RBT. Saya mau jalan saja,” tampik gadis itu terlebih dulu sebelum Syam menyapanya. Ia lalu mempercepat langkah.
“Kalau begitu, biar abang temani jalan. RBT-nya biar abang tuntun,” kata Syam berkompromi dan mencoba menyusul Aisyah sambil menuntun motor disampingnya.
Gadis itu mendadak menghentikan langkahnya, berbalik dan memandang Syam dengan tajam. Mata biru Aisyah ibarat belati menghunjam tepat di hatinya.
“Ini jalan sepi, Bang. Jangan sampai mengundang cibiran orang nanti. Lebih baik abang cari penumpang lain saja. Lagipula rumah saya tidak jauh lagi koq, tinggal sekali belok disana” kata Aisyah lembut sambil menunjuk ke depan.
“Saya Syamsuddin, kakak Fatimah, teman kelasmu. Saya bukan pemuda berandalan yang akan menganggumu, Dik. Abang hanya ingin berkenalan dengan kamu. Tapi kalau memang keberatan, abang akan pergi sekarang,” sahut Syam. Dengan pesona mata biru elangnya ia balas menatap manik mata Aisyah yang kemudian tertunduk malu. Syam merasakan degup jantungnya berdetak lebih cepat, sang pujaan hati itu telah berada tepat di depannya.
Ia kemudian menaiki sadel motornya. Sebelum memutar balik motor kearah yang berlawanan dengan Aisyah, ia berkata di sela-sela deru mesin motor,” Aisyah, mata biru kamu indah.” Syam kemudian memacu motornya.
Sepulang sekolah, keesokan harinya, adiknya Fatimah menyampaikan salam kembali dari Aisyah setelah sejumlah salam darinya tak berbalas. Katanya, Mata Biru Abang Syam juga indah dan mohon maaf atas kejadian kemarin.
Syam tersenyum. Ia baru saja menorehkan warna pelangi dalam satu babak kehidupannya.
Hari-hari berikutnya, menjadi hari-hari penuh gelora cinta bagi Syam. Setiap adiknya berangkat ke sekolah, ia menitip salam atau terkadang surat cinta untuk Aisyah. Syariat Islam yang ditegakkan secara ketat di Aceh tidak memungkinkan mereka sebagai pasangan yang belum menikah bertemu secara terbuka. Namun surat cinta di antara keduanya seakan menjadi saksi bisu bagi perjalanan cinta mereka. Ketika masih menjadi pengemudi RBT, Syam senantiasa menguntit dari jauh perjalanan pulang Aisyah ke rumah. Aisyah tahu itu. Ia selalu menoleh ke belakang sesaat sebelum berbelok di tikungan, melontarkan senyum fenomenalnya ke arah Syam yang duduk diatas sadel motor RBT 50 meter darinya. Syam membalas dengan lambaian tangan dan mengembangkan senyum balasan.
Setelah Aisyah tamat SMU, Syam tidak perlu menunggu lama lagi untuk melamar pujaan hatinya itu. Bersama ayah, ibu dan kerabatnya, mereka datang melamar Aisyah untuk menjadi istri Syam. Sambutan hangat mereka terima dari keluarga Aisyah yang kemudian segera menetapkan hari pernikahan mereka sebulan setelah prosesi pelamaran tersebut.
“Kita adalah pengantin bermata biru,” kata Syam mesra di telinga istrinya, Aisyah diatas pelaminan, di sela-sela kemeriahan pesta pernikahan mereka, beberapa bulan silam. Aisyah tersenyum malu dan mencubit pinggang suaminya. Seusai pesta pernikahan, mereka menempati rumah Aisyah karena sebagai anak tunggal satu-satunya, Aisyah belum diperkenankan tinggal terpisah jauh dari ayah bundanya. Syam memaklumi itu. Lagipula, rumahnya pun hanya berjarak kurang lebih dua kilometer dari tempatnya bermukim sekarang.
Syam menjalani profesi sebagai nelayan mengikuti jejak ayahnya. Namun ketika musim Meuseuke Engkot datang, ia kembali menekuni profesi sebagai pengemudi RBT.
Syam begitu mensyukuri anugerah Allah atas kebahagiaan yang diterimanya. Selain istri yang cantik dan alim, Aisyah mampu tampil sebagai pendamping hidupnya yang setia bersama dalam suka maupun duka. Kebahagiaan pun terasa lengkap saat Aisyah mengabarkan kehamilannya. Mata Syam berkaca-kaca, terharu mendengar kabar menyenangkan itu. Dipeluknya Aisyah erat-erat dan mencium keningnya dengan mesra.
Sampai akhirnya bencana tsunami itu merenggut semuanya, termasuk kebahagiaan yang telah ia reguk bersama Aisyah. Ia masih ingat betul saat gempa dashyat melanda Aceh saat pagi baru membuka tirainya. Setiap pagi, Syam mempunyai kebiasaan mempersiapkan perahu dan jala sebelum melaut didepan rumah. Di hari Minggu yang naas itu, gempa mengguncang dashyat. Syam berlari masuk rumah dan meminta seluruh anggota keluarganya untuk segera keluar rumah menyelamatkan diri dari kemungkinan lebih buruk. Semua selamat, termasuk istrinya Aisyah dan kedua mertuanya.
Tiba-tiba air laut surut. Sejumlah warga berlarian kearah pesisir pantai, melihat ikan-ikan yang terdampar dan menggelepar-gelepar disana. Tidak berapa lama kemudian gelombang ombak besar datang menderu dengan kecepatan tak terhingga. Syam dan Aisyah menatap, dinding air setinggi pohon kelapa yang menerjang, dengan perasaan ngeri.
Syam menggenggam erat tangan istrinya dan menariknya lari. Sekencang-kencangnya. Ia tidak melihat kedua mertua yang sebelumnya berada di dekatnya. Sejumlah orang ikut berlari dengan perasaan panik dan ketakutan luar biasa. Ombak besar datang menggulung, memutar dan menghempaskan Syam dan Aisyah. Genggaman tangan mereka terlepas. Syam berusaha menggapai istrinya. Ia berteriak sekuat tenaga memanggil namun kekuatan ombak raksasa itu tak kuasa dilawannya. Ia tidak ingat apa-apa lagi.
Saat tersadar, ia seperti bangun dari kematian. Tubuhnya tersangkut di sebuah pohon, sekitar 1 kilometer dari rumahnya. Ia selamat dari bencana mengerikan itu. Tapi tak ada Aisyah disampingnya. Rasa sakit menjalari sekujur tubuhnya. Dengan kekuatan yang tersisa, ia turun dari pohon dan berjalan tertatih mencari Aisyah, istrinya. Ia memanggil sekuat tenaga dengan harapan yang kian rapuh. Mayat bergelimpangan di mana-mana. Di jalan, di bawah reruntuhan bangunan, di pohon, di mana saja. Sambil menahan sakit di sekujur tubuh, Syam membolak-balik setiap mayat yang ditemuinya.
Tepat di tikungan jalan tempat Aisyah biasa berbelok menuju ke rumah, ia menghentikan langkah. Tubuh Aisyah tergeletak di bawah pohon mangga, tempat ia biasa berteduh dan menoleh sambil tersenyum, ke arah Syam yang sedang duduk menguntitnya dengan motor RBT. Jilbab putih istrinya sudah berubah warna menjadi coklat gelap lumpur. Syam memeluk istrinya erat-erat, menciumnya, mengalirkan kehangatan dan cinta kasihnya yang tak terhingga. Ia mencoba menemukan kerjap indah mata biru Aisyah, tapi sia-sia. Mata istrinya telah tertutup untuk selama-lamanya. Kepedihan luar biasa melanda batinnya.
Saat itu Aisyah sedang mengandung 2 bulan, hasil buah kasih cinta mereka.
****
Syam menunduk, menekuri tanah tempat kami duduk.
Aku tertegun menyimak kisah hidupnya. Malam mulai turun dan desau angin laut terasa menggigilkan tubuh. Aku menghela nafas panjang. Sungguh berat penderitaan yang dialami lelaki muda ini.
“Mari kita pulang ke barak, Bung Syam,” ajakku sembari bangkit.
Ia tak bergeming sedikitpun.
“Hidup kita masih harus terus berlanjut Bung Syam. Tidak berhenti sampai disini. Putus asa tidak akan menyelesaikan semuanya dan mengembalikan Aisyah kembali di sisi Anda. Yang paling penting saat ini, Anda mesti merelakan kepergian Aisyah sebagai takdir yang sudah digariskan dari Allah, Tuhan penguasa semesta alam. Untuk kemudian bangkit melanjutkan hidup lebih tegar dan bermakna sebagai bagian dari fitrah ke-khalifahan kita dimuka bumi,” tuturku tenang.
Syam mengangkat wajah. Ia memandangku. Mata birunya seperti terluka, tapi aku melihat secercah cahaya harapan disana. Pandangannya beralih kedepan. Kedua tangannya bertumpu pada lututnya. Ia menghela nafas panjang lalu mengangguk pelan.
Aku menepuk pundak Syam dan membantunya bangkit dari tempat duduk lalu berjalan bersamanya. Samar-samar aku mendengar debur ombak menghempas pantai seperti mendendangkan tembang pilu. Tentang kenangan yang tenggelam, tentang mimpi-mimpi yang hilang.
Kamis, 02 Februari 2012

Ada sebuah keluarga di Lhok Nga - Aceh yang selalu menanamkan ajaran Islam dalam kesehariannya. Mereka adalah keluarga Umi Salamah dan Abi Usman. Mereka memiliki 4 bidadari yang solehah: Alisa Fatimah (si kembar) Alisa Zahra & Alisa Aisyah dan si bungsu Alisa Delisa.


Setiap subuh Umi Salamah selalu mengajak bidadari-bidadarinya sholat jama'ah. Karena Abi Usman bekerja sebagai pelaut di salah satu kapal tanker perusahaan minyak asing - Arun yang pulangnya 3 bulan sekali. Awalnya Delisa susah sekali dibangunkan untuk sholat subuh. Tapi lama-lama ia bisa bangun lebih dulu ketimbang Aisyah. Setiap sholat jama'ah Aisyah mendapat tugas membaca bacaan sholat keras-keras agar Delisa yang ada di sampingnya bisa mengikuti bacaan sholat itu.

Umi Salamah mempunyai kebiasaan memberikan hadiah sebuah kalung emas kepada anak-anaknya yang bisa menghafal bacaan sholat dengan sempurna. Begitu juga dengan Delisa yang sedang berusaha untuk menghafal bacaan sholat agar sempurna. Agar bisa sholat dengan khusyuk. Delisa berusaha keras agar bisa menghafalnya dengan baik. Selain itu Abi Usman pun berjanji akan membelikan Delisa sepeda jika ia bisa menghafal bacaan sholat dengan sempurna

Sebelum Delisa hafal bacaan sholat itu Umi Salamah sudah membelikan seuntai kalung emas dengan gantungan huruf D untuk Delisa. Delisa senang sekali dengan kalung itu. Semangatnya semakin menggebu-gebu. Tapi entah mengapa Delisa tak pernah bisa menghafal bacaan sholat dengan sempurna.

26 Desember 2004

Delisa bangun dengan semangat. Sholat subuh dengan semangat. Bacaannya nyaris sempurna kecuali sujud. Bukannya tertukar tapi tiba-tiba Delisa lupa bacaan sujudnya. Empat kali sujud empat kali Delisa lupa. Delisa mengabaikan fakta itu. Toh nanti pas di sekolah ia punya waktu banyak untuk mengingatnya. Umi ikut mengantar Delisa. Hari itu sekolah ramai oleh ibu-ibu. Satu persatu anak maju dan tiba giliran Alisa Delisa. Delisa maju Delisa akan khusuk. Ia ingat dengan cerita Ustad Rahman tentang bagaimana khusuknya sholat Rasul dan sahabat-sahabatnya.

"Kalo orang yang khusuk pikirannya selalu fokus. Pikirannya satu." Nah jadi kalian sholat harus khusuk. Andaikata ada suara ribut di sekitar tetap khusuk.

Delisa pelan menyebut "ta'awudz". Sedikit gemetar membaca "bismillah". Mengangkat tangannya yang sedikit bergetar meski suara dan hatinya pelan-pelan mulai mantap. "Allahu Akbar".

Seratus tiga puluh kilometer dari Lhok Nga. Persis ketika Delisa usai bertakbiratul ihram persis ucapan itu hilang dari mulut Delisa. Persis di tengah lautan luas yang beriak tenang. LANTAI LAUT RETAK SEKETIKA. Dasar bumi terban seketika! Merekah panjang ratusan kilometer. Menggentarkan melihatnya. Bumi menggeliat. Tarian kematian mencuat. Mengirimkan pertanda kelam menakutkan.

Gempa menjalar dengan kekuatan dahsyat. Banda Aceh rebah jimpa. Nias lebur seketika. Lhok Nga menyusul. Tepat ketika di ujung kalimat Delisa tepat ketika Delisa mengucapkan kata "wa-ma-ma-ti" lantai sekolah bergetar hebat. Genteng sekolah berjatuhan. Papan tulis lepas berdebam menghajar lantai. Tepat ketika Delisa bisa melewati ujian pertama kebolak-baliknya Lhok Nga bergetar terbolak-balik.

Gelas tempat meletakkan bunga segar di atas meja bu guru Nur jatuh. Pecah berserakan di lantai satu beling menggores lengan Delisa. Menembus bajunya. Delisa mengaduh. Umi dan ibu-ibu berteriak di luar. Anak-anak berhamburan berlarian. Berebutan keluar dari daun pintu. Situasi menjadi panik. Kacau balau. "GEMPAR"!

"Innashalati wanusuki wa-ma... wa-ma... wa-ma-yah-ya wa-ma-ma-ti..."

Delisa gemetar mengulang bacaannya yang tergantung tadi. Ya Allah Delisa takut... Delisa gentar sekali. Apalagi lengannya berdarah membasahi baju putihnya. Menyemburat merah. Tapi bukankah kata Ustadz Rahman sahabat Rasul bahkan tetap tak bergerak saat sholat ketika punggungnya digigit kalajengking?

Delisa ingin untuk pertama kalinya ia sholat untuk pertama kalinya ia bisa membaca bacaan sholat dengan sempurna Delisa ingin seperti sahabat Rasul. Delisa ingin khusuk ya Allah...

Gelombang itu menyentuh tembok sekolah. Ujung air menghantam tembok sekolah. Tembok itu rekah seketika. Ibu Guru Nur berteriak panik. Umi yang berdiri di depan pintu kelas menunggui Delisa berteriak keras ... SUBHANALLAH! Delisa sama sekali tidak mempedulikan apa yang terjadi. Delisa ingin khusuk. Tubuh Delisa terpelanting. Gelombang tsunami sempurna sudah membungkusnya. Delisa megap-megap. Gelombang tsunami tanpa mengerti apa yang diinginkan Delisa membanting tubuhnya keras-keras. Kepalanya siap menghujam tembok sekolah yang masih bersisa. Delisa terus memaksakan diri membaca takbir setelah "i'tidal..." "Al-la-hu-ak-bar..." Delisa harus terus membacanya! Delisa tidak peduli tembok yang siap menghancurkan kepalanya.

Tepat Delisa mengatakan takbir sebelum sujud itu tepat sebelum kepalanya menghantam tembok itu selaksa cahaya melesat dari "Arasy Allah." Tembok itu berguguran sebelum sedikit pun menyentuh kepala mungil Delisa yang terbungkus kerudung biru. Air keruh mulai masuk menyergap Kerongkongannya. Delisa terbatuk. Badannya terus terseret. Tubuh Delisa terlempar kesana kemari. Kaki kanannya menghantam pagar besi sekolah. Meremukkan tulang belulang betis kanannya. Delisa sudah tak bisa menjerit lagi. Ia sudah sempurna pingsan. Mulutnya minum berliter air keruh.
Tangannya juga terantuk batang kelapa yang terseret bersamanya. Sikunya patah. Mukanya penuh baret luka dimana-mana. Dua giginya patah. Darah menyembur dari mulutnya.

Saat tubuh mereka berdua mulai perlahan tenggelam Ibu Guru Nur melepas kerudung robeknya. Mengikat tubuh Delisa yang pingsan di atas papan sekencang yang ia bisa dengan kerudung itu. Lantas sambil menghela nafas penuh arti melepaskan papan itu dari tangannya pelan-pelan sebilah papan dengan Delisa yang terikat kencang diatasnya.

"Kau harus menyelesaikan hafalan itu sayang...!" Ibu Guru Nur berbisik sendu. Menatap sejuta makna. Matanya meredup. Tenaganya sudah habis. Ibu Guru Nur bersiap menjemput syahid.

Minggu 2 Januari 2005

Dua minggu tubuh Delisa yang penuh luka terdampar tak berdaya. Tubuhnya tersangkut di semak belukar. Di sebelahnya terbujur mayat Tiur yang pucat tak berdarah. Smith seorang prajurit marinir AS berhasil menemukan Delisa yang tergantung di semak belukar tubuhnya dipenuhi bunga-bunga putih. Tubuhnya bercahaya berkemilau menakjubkan! Delisa segera dibawa ke Kapal Induk John F Kennedy. Delisa dioperasi kaki kanannya diamputasi. Siku tangan kanannya di gips. Luka-luka kecil di kepalanya dijahit. Muka lebamnya dibalsem tebal-tebal. Lebih dari seratus baret di sekujur tubuhnya.
Aisyah dan Zahra mayatnya ditemukan sedang berpelukan. Mayat Fatimah juga sudah ditemukan. Hanya Umi Salamah yang mayatnya belum ditemukan. Abi Usman hanya memiliki seorang bidadari yang masih belum sadar dari pingsan. Prajurit Smith memutuskan untuk menjadi mu'alaf setelah melihat kejadian yang menakjubkan pada Delisa. Ia mengganti namanya menjadi Salam.

Tiga minggu setelah Delisa dirawat di Kapal induk akhirnya ia diijinkan pulang. Delisa dan Abi Usman kembali ke Lhok Nga. Mereka tinggal bersama para korban lainnya di tenda-tenda pengungsian. Hari-hari diliputi duka. Tapi duka itu tak mungkin didiamkan berkepanjangan. Abi Usman dan Delisa kembali ke rumahnya yang dibangun kembali dengan sangat sederhana.

Delisa kembali bermain bola Delisa kembali mengaji Delisa dan anak-anak korban tsunami lainnya kembali sekolah dengan peralatan seadanya. Delisa kembali mencoba menghafal bacaan sholat dengan sempurna. Ia sama sekali sulit menghafalnya. "Orang-orang yang kesulitan melakukan kebaikan itu mungkin karena hatinya Delisa. Hatinya tidak ikhlas! Hatinya jauh dari ketulusan." Begitu kata Ubai salah seorang relawan yang akrab dengan Delisa.

21 Mei 2005

Ubai mengajak Delisa dan murid-muridnya yang lain ke sebuah bukit. Hari itu Delisa sholat dengan bacaan sholat yang sempurna. Tidak terbolak-balik. Delisa bahkan membaca doa dengan sempurna. Usai sholat Delisa terisak. Ia bahagia sekali. Untuk pertama kalinya ia menyelesaikan sholat dengan baik. Sholat yang indah. Mereka belajar menggurat kaligrafi di atas pasir yang dibawanya dengan ember plastik. Sebelum pergi meninggalkan bukit itu Delisa meminta ijin mencuci tangan di sungai dekat dari situ.

Ketika ujung jemarinya menyentuh sejuknya air sungai. Seekor burung belibis terbang di atas kepalanya. Memercikkan air di mukanya. Delisa terperanjat. Mengangkat kepalanya. Menatap burung tersebut yang terbang menjauh. Ketika itulah Delisa menatap sesuatu di seberang sungai.

Kemilau kuning. Indah menakjubkan memantulkan cahaya matahari senja. Sesuatu itu terjuntai di sebuah semak belukar indah yang sedang berbuah. Delisa gentar sekali. Ya Allah! Seuntai kalung yang indah tersangkut. Ada huruf D disana. Delisa serasa mengenalinya. D untuk Delisa. Diatas semak belukar yang merah buahnya. Kalung itu tersangkut di tangan. Tangan yang sudah menjadi kerangka. Sempurna kerangka manusia. Putih. Utuh. Bersandarkan semak belukar itu.

UMMI...............

Puisi Tsunami :K E K A L U T A N    B E N C A N A

romahamzani
Maret 09, 2005
Cahaya kota dalam kegelapan
Menjanjikan sebuah harapan
Dalam kenangan adalah indah
Menjelma hamparan yang lara dan gundah
Kini dalam tatapan kosong
Bertaburan udara kelam dalam hening
Cinta, hidup, harta adalah maya
Permainan, pekerjaan adalah belaka
Kenangan berlalu dalam kebisuan
Kesenangan berbaur dalam kenistaan
Entah, apa yang telah diperbuat
Segala kesengsaraan telah menjelma kehidupan
Dalam hitungan sebuah kedipan
Ladang yang elok dan asri
Menjadi sebuah kuburan yang ngeri
Berhamparan tubuh pucat dan kaku
Panggilan jiwa, tenggelam dalam hangatnya kalbu
Udara dingin telah menghantui luka
Kehangatan yang didambakan menjadi neraka
Sebuah teguran telah datang
Dalam surat goncangan dalam gelombang
Dalam teriakan demi teriakan
Mereka menggapai cahaya keselamatan
Dalam terpaan air bah
Mereka meratapi goresan yang salah
Dalam tangisan panjang
Mereka tenggelam dalam arus
Derai air mata, membanjiri dunia ini
Jeritan-jeritan menyayat hati
Berbagai anak manusia larut dalam duka
Meratapi sebuah kedasyatan dalam bencana
Ya Allah ….., Ya Allah ….., Ya Allah …..
Betapa berat cobaan yang diberikan
Pada diri kami yang t’lah menyulap Serambi Mekkah menjadi Dunia yang Fana
Ya, Engkau Maha Esa, Maha Agung, Maha Kuasa dan Maha dari segala Maha
Tetapi dunia ini maya
Dalam sebuah kebohongan derita
Tangisan dunia dalam kedustaan
Tertera dalam raut muka dan lidah kepalsuan