Awatara Dewa Wisnu
Awatara atau Avatar dalam agama
Hindu adalah inkarnasi dari Tuhan Yang Maha Esa maupun manifestasinya. Tuhan
Yang Maha Esa ataupun manifestasinya turun ke dunia, mengambil suatu bentuk
dalam dunia material, guna menyelamatkan dunia dari kehancuran dan kejahatan,
menegakkan dharma dan menyelamatkan orang-orang yang melaksanakan
Dharma/Kebenaran.
Agama Hindu mengenal adanya Dasa
Awatara yang sangat terkenal di antara Awatara-Awatara lainnya. Dasa Awatara
adalah sepuluh Awatara yang diyakini sebagai penjelmaan material Dewa Wisnu dalam misi menyelamatkan dunia.
Dari sepuluh Awatara, sembilan diantaranya diyakini sudah pernah menyelamatkan
dunia, sedangkan satu di antaranya, Awatara terakhir (Kalki Awatara), masih
menunggu waktu yang tepat (konon pada akhir Kali Yuga) untuk turun ke dunia. Kisah-kisah Awatara tersebut
terangkum dalam sebuah kitab yang disebut Purana.
1.
Matsya
Avatar

Kisah dengan tema serupa juga dapat disimak dalam kisah Nabi Nuh, yang
konon membuat bahtera besar untuk melindungi
umatnya dari bencana air bah yang melanda bumi. Kisah dengan tema yang sama
juga ditemukan di beberapa negara, seperti kisah dari penduduk
asli Amerika dan dari Yunani.
Dalam diri manusia "ikan"
adalah lambang sebuah benih. Atau sel sperma dan sel telur. Sel seperma tidak
akan mengalami pembuahan jika tidak ada sel telur yang bagus. Untuk menampung
pertemuan tersebut dalam organ tubuh wanita disebut dengan rahim ( perahu dari
raja Manu). Jaman Satya Yuga jika dalam diri manusia adalah ketika masih dalam
kandungan hingga berumur 3 tahun.
Pada kehidupan di bumi = ikan
merupakan binatang air. Pada awal terbentuknya dunia yang ada adalah kehidupan
satwa air. Jaman Ordovisium (500 - 440 juta tahun lalu) Zaman Ordovisium
dicirikan oleh munculnya ikan tanpa rahang (hewan bertulang belakang paling
tua) dan beberapa hewan bertulang belakang yang muncul pertama kali seperti
Tetrakoral, Graptolit, Ekinoid (Landak Laut), Asteroid (Bintang Laut), Krinoid
(Lili Laut) dan Bryozona. Koral dan Alaga berkembang membentuk karang, dimana
trilobit dan Brakiopoda mencari mangsa. Graptolit dan Trilobit melimpah,
sedangkan Ekinodermata dan Brakiopoda mulai menyebar. Meluapnya Samudra dari
Zaman Es merupakan bagian peristiwa dari zaman ini. Gondwana dan benua-benua
lainnya mulai menutup celah samudera yang berada di antaranya.
Kisah tentang Matsya dapat disimak
dalam Matsyapurana dan juga Purana lainnya. Diceritakan bahwa pada saat Raja
Satyabrata (yang lebih dikenal sebagai Waiwaswata Manu) mencuci tangan di sungai, seekor
ikan kecil menghampiri tangannya dan sang raja tahu bahwa ikan itu meminta
perlindungan. Akhirnya ia memelihara ikan tersebut. Ia menyiapkan kolam kecil
sebagai tempat tinggal ikan tersebut. Namun lambat laun ikan tersebut bertambah
besar, hampir memenuhi seluruh kolam. Akhirnya ia memindahkan ikan tersebut ke
kolam yang lebih besar. Kejadian tersebut terus terjadi berulang-ulang sampai
akhirnya beliau sadar bahwa ikan yang ia pelihara bukanlah ikan biasa.
Akhirnya melalui upacara, diketahuilah bahwa ikan tersebut
merupakan penjelmaan Dewa Wisnu. Dalam versi
lain, ikan itu dibawa ke samudera. Ikan itu
sendiri menyampaikan kabar bahwa di bumi akan terjadi bencana air bah yang
sangat hebat selama tujuh hari. Ikan itu berpesan agar sang raja membuat sebuah
bahtera besar untuk menyelamatkan diri dari
banjir besar, dan mengisi bahtera tersebut dengan berbagai makhluk hidup yang
setiap jenisnya berjumlah sepasang (betina dan jantan), serta membawa
obat-obatan, makanan, bibit segala macam tumbuhan, dan mengajak Saptaresi (Tujuh Maha Rsi). Ikan tersebut juga
menambahkan bahwa setelah banjir besar tiba, diharapkan agar bahtera tersebut
diikat ke tanduk sang ikan dengan naga Basuki
sebagai talinya. Setelah menyampaikan seluruh pesan, ikan ajaib tersebut
menghilang.
Menurut Matsyapurana,
seratus tahun kemudian, kekeringan yang hebat melanda bumi. Banyak makhluk yang
mati kelaparan. Kemudian, langit dipenuhi oleh tujuh macam awan yang
mencurahkan hujan lebat tak terhentikan. Dengan cepat, air yang dicurahkan
menutupi daratan di bumi. Oleh karena Waiwaswata Manu
sudah membuat bahtera sesuai dengan petunjuk yang disampaikan awatara Wisnu,
maka ia beserta pengikutnya selamat dari bencana.
2.
Kurma Avatara
Kurma adalah awatara
(penjelmaan) kedua dewa Wisnu yang berwujud kura-kura raksasa. Awatara ini muncul pada masa Satyayuga. Menurut kitab Adiparwa,
kura-kura tersebut bernama Akupa.
Menurut berbagai kitab Purana,
Wisnu mengambil wujud seekor kura-kura (kurma) dan mengapung di lautan
susu (Kserasagara atau Kserarnawa). Di dasar laut tersebut konon
terdapat harta karun dan tirta amerta yang
dapat membuat peminumnya hidup abadi. Para Dewa
dan Asura berlomba-lomba mendapatkannya. Untuk
mangaduk laut tersebut, mereka membutuhkan alat dan sebuah gunung yang bernama
Gunung Mandara Giri, yang digunakan untuk mengaduknya. Para Dewa dan para Asura
mengikat gunung tersebut dengan Naga Wasuki (Naga Basuki) dan memutar gunung
tersebut. Kurma menopang dasar gunung tersebut dengan tempurungnya. Dewa Indra memegang puncak gunung tersebut agar tidak
terangkat ke atas. Setelah sekian lama tirta amerta berhasil didapat dan Dewa Wisnu mengambil alih.
Kisah tentang Kurma Awatara muncul dari kisah pemutaran
Mandaragiri yang terdapat dalam Kitab Adiparwa.
Dikisahkan pada zaman Satyayuga, para Dewa dan asura (rakshasa) bersidang di puncak gunung Mahameru untuk mencari cara mendapatkan tirta amerta, yaitu air suci yang dapat membuat hidup
menjadi abadi. Sang Hyang Nārāyana (Wisnu) bersabda, "Kalau kalian menghendaki
tirta amerta tersebut, aduklah lautan Ksera (Kserasagara), sebab dalam
lautan tersebut terdapat tirta amerta. Maka dari itu, kerjakanlah."
Setelah mendengar perintah Sang
Hyang Nārāyana, berangkatlah para Dewa
dan asura pergi ke laut Ksera. Terdapat sebuah
gunung bernama Gunung Mandara (Mandaragiri) di Sangka Dwipa (Pulau Sangka),
tingginya sebelas ribu yojana. Gunung tersebut dicabut oleh Sang Anantabhoga beserta segala isinya. Setelah mendapat
izin dari Dewa Samudera, gunung Mandara
dijatuhkan di laut Ksira sebagai tongkat pengaduk lautan tersebut. Seekor kura-kura (kurma) raksasa bernama Akupa yang konon
katanya sebagai penjelmaan Wisnu, menjadi
dasar pangkal gunung tersebut. Ia disuruh menahan gunung Mandara supaya tidak
tenggelam.
Pemutaran
Gunung Mandara Giri
|
Naga Basuki dipergunakan sebagai tali, membelit lereng gunung tersebut.
Dewa Indra menduduki puncaknya, suapaya gunung
tersebut tidak melambung ke atas. Setelah siap, para Dewa, rakshasa dan asura
mulai memutar gunung Mandara dengan menggunakan Naga Basuki sebagai tali. Para
Dewa memegang ekornya sedangkan para asura dan rakshasa memegang kepalanya.
Mereka berjuang dengan hebatnya demi mendapatkan tirta amerta
sehingga laut bergemuruh. Gunung Mandara menyala, Naga Basuki menyemburkan bisa membuat pihak asura dan rakshasa kepanasan.
Lalu Dewa Indra memanggil awan mendung yang kemudian mengguyur para asura dan
rakshasa. Lemak segala binatang di gunung
Mandara beserta minyak kayu hutannya membuat lautan Ksira mengental, pemutaran
Gunung Mandara pun makin diperhebat.
Saat lautan diaduk, racun mematikan yang disebut Halahala menyebar. Racun tersebut dapat membunuh
segala makhluk hidup. Dewa Siwa kemudian
meminum racun tersebut maka lehernya menjadi biru dan disebut Nilakantha
(Sanskerta: Nila: biru, Kantha: tenggorokan).
Setelah itu, berbagai dewa-dewi, binatang, dan harta karun muncul, yaitu:
1. Sura,
Dewi yang menciptakan minuman anggur
2. Apsara,
Kaum bidadari kahyangan
3. Kostuba,
Permata yang paling berharga di dunia
4. Uccaihsrawa,
Kuda para Dewa
5. Kalpawreksa,
Pohon yang dapat mengabulkan keinginan
6. Kamadhenu,
Sapi pertama dan ibu dari segala sapi
7. Airawata,
Kendaraan Dewa Indra
8. Laksmi,
Dewi keberuntungan dan kemakmuran
Pembagian
Tirta Amertha
|
Akhirnya keluarlah Dhanwantari
membawa kendi berisi tirta amerta. Karena para Dewa sudah banyak mendapat
bagian sementara para asura dan rakshasa tidak mendapat bagian sedikit pun, maka
para asura dan rakshasa ingin agar tirta amerta menjadi milik mereka. Akhirnya
tirta amerta berada di pihak para asura dan rakshasa dan Gunung Mandara
dikembalikan ke tempat asalnya, Sangka Dwipa.
Melihat tirta amerta berada
di tangan para asura dan rakshasa, Dewa Wisnu
memikirkan siasat bagaimana merebutnya kembali. Akhirnya Dewa Wisnu mengubah
wujudnya menjadi seorang wanita yang sangat
cantik, bernama Mohini. Wanita cantik tersebut
menghampiri para asura dan rakshasa. Mereka sangat senang dan terpikat dengan
kecantikan wanita jelmaan Wisnu. Karena tidak sadar terhadap tipu daya, mereka
menyerahkan tirta amerta kepada Mohini.
Dewi
Mohini
|
Setelah mendapatkan tirta, wanita tersebut lari dan mengubah
wujudnya kembali menjadi Dewa Wisnu. Melihat hal itu, para asura dan rakshasa
menjadi marah. Kemudian terjadilah perang
antara para Dewa dengan asura dan rakshasa.
Pertempuran terjadi sangat lama dan kedua pihak sama-sama sakti. Agar
pertempuran dapat segera diakhiri, Dewa Wisnu memunculkan senjata cakra yang mampu menyambar-nyambar para
asura dan rakshasa. Kemudian mereka lari tunggang langgang karena menderita
kekalahan. Akhirnya tirta amerta berada di pihak para Dewa.
Para Dewa kemudian terbang ke Wisnuloka,
kediaman Dewa Wisnu, dan di sana mereka meminum tirta amerta sehingga hidup
abadi. Seorang rakshasa yang merupakan anak Sang Wipracitti dengan Sang
Singhika mengetahui hal itu, kemudian ia mengubah wujudnya menjadi Dewa dan turut serta meminum tirta amerta. Hal tersebut diketahui oleh Dewa Aditya dan Chandra,
yang kemudian melaporkannya kepada Dewa Wisnu.
Dewa Wisnu kemudian mengeluarkan senjata chakranya dan memenggal leher sang rakshasa, tepat ketika tirta amerta sudah
mencapai tenggorokannya. Badan sang rakshasa mati, namun kepalanya masih hidup
karena tirta amerta sudah menyentuh tenggorokannya. Sang rakshasa marah kepada
Dewa Aditya dan Chandra,
dan bersumpah akan memakan mereka pada pertengahan bulan. Sehingga terjadilah
gerhana bulan dan gerhana matahari.
3.
Waraha
Avatar
Waraha
Awatara
|
Waraha adalah awatara
(penjelmaan) ketiga dari Dewa Wisnu yang
berwujud babi hutan. Awatara
ini muncul pada masa Satyayuga (zaman
kebenaran). Kisah mengenai Waraha Awatara selengkapnya terdapat di dalam kitab Warahapurana dan Purana-Purana
lainnya.
Pada zaman Satyayuga (zaman
kebenaran), ada seorang raksasa bernama Hiranyaksa,
adik raksasa Hiranyakasipu. Keduanya merupakan
kaum Detya (raksasa). Hiranyaksa hendak
menenggelamkan Pertiwi (planet bumi) ke dalam
"lautan kosmik," suatu tempat antah berantah di ruang angkasa.
Melihat dunia akan mengalami kiamat, Wisnu menjelma menjadi babi hutan yang memiliki dua taring
panjang mencuat dengan tujuan menopang bumi yang dijatuhkan oleh Hiranyaksa.
Usaha penyelamatan yang dilakukan Waraha tidak berlangsung lancar karena
dihadang oleh Hiranyaksa.
Maka terjadilah pertempuran sengit antara raksasa Hiranyaksa melawan Dewa Wisnu.
Konon pertarungan ini terjadi ribuan tahun yang lalu dan memakan waktu ribuan
tahun pula. Pada akhirnya, Dewa Wisnu yang
menang.
Pertarungan
Waraha dan Hiranyaksa
|
Setelah Beliau memenangkan pertarungan, Beliau mengangkat bumi yang bulat seperti bola dengan dua taringnya
yang panjang mencuat, dari lautan kosmik, dan meletakkan kembali bumi pada orbitnya. Setelah itu, Dewa Wisnu menikahi Dewi Pertiwi
dalam wujud awatara tersebut.
Waraha Awatara dilukiskan sebagai babi hutan yang membawa planet bumi dengan
kedua taringnya dan meletakkannya di atas hidung, di depan mata. Kadangkala
dilukiskan sebagai manusia berkepala babi hutan, dengan dua taring menyangga
bola dunia, bertangan empat, masing-masing membawa: cakra,
terompet dari kulit kerang (sangkakala), teratai, dan gada.
4.
Narasinga
Avatar

Menurut kitab Purana,
pada menjelang akhir zaman Satyayuga (zaman
kebenaran), seorang raja asura Hiranyakasipu
membenci segala sesuatu yang berhubungan dengan Wisnu, dan dia tidak senang
apabila di kerajaannya ada orang yang memuja Wisnu. Sebab bertahun-tahun yang
lalu, adiknya yang bernama Hiranyaksa dibunuh
oleh Waraha, awatara
Wisnu.
Agar menjadi sakti, ia melakukan tapa yang sangat berat, dan
hanya memusatkan pikirannya pada Dewa Brahma.
Setelah Brahma berkenan untuk muncul dan menanyakan permohonannya,
Hiranyakasipu meminta agar ia diberi kehidupan abadi, tak akan bisa mati dan
tak akan bisa dibunuh. Namun Dewa Brahma menolak, dan menyuruhnya untuk meminta
permohonan lain. Akhirnya Hiranyakashipu meminta, bahwa ia tidak akan bisa
dibunuh oleh manusia, hewan ataupun dewa,
tidak bisa dibunuh pada saat pagi, siang ataupun malam, tidak bisa dibunuh di
darat, air, api, ataupun udara, tidak bisa dibunuh di dalam ataupun di luar
rumah, dan tidak bisa dibunuh oleh segala macam senjata. Mendengar permohonan
tersebut, Dewa Brahma mengabulkannya.
Sementara ia meninggalkan rumahnya untuk memohon berkah,
para dewa yang dipimpin oleh Dewa Indra, menyerbu rumahnya. Narada
datang untuk menyelamatkan istri Hiranyakasipu
yang tak berdosa, bernama Lilawati. Saat
Lilawati meninggalkan rumah, anaknya lahir dan diberi nama Prahlada. Anak itu dididik oleh Narada untuk menjadi anak yang budiman, menyuruhnya
menjadi pemuja Wisnu, dan menjauhkan diri dari
sifat-sifat keraksasaan ayahnya.
Mengetahui para dewa
melindungi istrinya, Hiranyakasipu menjadi
sangat marah. Ia semakin membenci Dewa Wisnu,
dan anaknya sendiri, Prahlada yang kini
menjadi pemuja Wisnu. Namun, setiap kali ia
membunuh putranya, ia selalu tak pernah berhasil karena dihalangi oleh kekuatan
gaib yang merupakan perlindungan dari Dewa Wisnu. Ia kesal karena selalu gagal
oleh kekuatan Dewa Wisnu, namun ia tidak mampu menyaksikan Dewa Wisnu yang melindungi Prahlada secara langsung. Ia
menantang Prahlada untuk menunjukkan Dewa Wisnu. Prahlada menjawab, "Ia
ada dimana-mana, Ia ada di sini, dan Ia akan muncul".
Narasinga
Membunuh Hiranyakasipu
|
Mendengar jawaban itu, ayahnya sangat marah, mengamuk dan
menghancurkan pilar rumahnya. Tiba-tiba terdengar suara yang menggemparkan.
Pada saat itulah Dewa Wisnu sebagai Narasinga muncul dari pilar yang
dihancurkan Hiranyakasipu. Narasinga datang untuk menyelamatkan Prahlada dari amukan ayahnya, sekaligus membunuh Hiranyakasipu. Namun, atas anugerah dari Brahma,
Hiranyakasipu tidak bisa mati apabila tidak dibunuh pada waktu, tempat dan
kondisi yang tepat. Agar berkah dari Dewa Brahma tidak berlaku, ia memilih
wujud sebagai manusia berkepala singa untuk membunuh Hiranyakasipu. Ia juga
memilih waktu dan tempat yang tepat. Akhirnya, berkah dari Dewa Brahma tidak berlaku. Narasinga berhasil merobek-robek
perut Hiranyakasipu. Akhirnya Hiranyakasipu
berhasil dibunuh oleh Narasinga, karena ia dibunuh bukan oleh manusia,
binatang, atau dewa. Ia dibunuh bukan pada
saat pagi, siang, atau malam, tapi senja hari. Ia dibunuh bukan di luar atau di
dalam rumah. Ia dibunuh bukan di darat, air, api, atau udara, tapi di pangkuan
Narasinga. Ia dibunuh bukan dengan senjata, melainkan dengan kuku.
Narasinga memberi contoh bahwa Tuhan itu ada dimana-mana.
Rasa bakti yang tulus dari Prahlada menunjukkan bahwa sikap seseorang bukan
ditentukan dari golongannya, ataupun bukan karena berasal dari keturunan yang
jelek, melainkan dari sifatnya. Meskipun Prahlada seorang keturunan Asura,
namun ia juga seorang penyembah Wisnu yang taat.
Membunuh Hiranyakasipu dengan mengambil wujud sebagai
Narasinga merupakan salah satu cara menghukum yang paling sadis dari Dewa
Wisnu. Di India, Narasinga sangat terkenal. Dalam festival tradisional India,
kisah ini berhubungan dengan perayaan Holi, salah satu perayaan terpenting di
India. Dari sinilah Narasimha menjadi terkenal. Di India Selatan, Narasinga
sering dituangkan ke dalam bentuk seni pahatan dan lukisan. Narasinga merupakan
awatara yang paling terkenal setelah Rama dan Kresna.
5.
Wamana Avatar
Wamana
Awatara
|
Wamana adalah awatara Wisnu yang kelima, turun pada masa Tretayuga, sebagai putra Aditi
dan Kasyapa, seorang Brahmana.
Ia (Wisnu) turun ke dunia guna menegakkan
kebenaran dan memberi pelajaran kepada raja Bali
(Mahabali), seorang Asura,
cucu dari Prahlada. Raja Bali telah merebut
surga dari kekuasaan Dewa Indra, karena itu
Wisnu turun tangan dan menjelma ke dunia, memberi hukuman pada Raja Bali. Wamana awatara dilukiskan sebagai Brahmana
dengan raga anak kecil yang membawa payung. Wamana Awatara merupakan penjelmaan
pertama Dewa Wisnu yang mengambil bentuk manusia lengkap, meskipun berwujud Brahmana mungil. Wamana kadang-kadang dikenal juga
dengan sebutan "Upendra."
Kisah Wamana Awatara dimuat dalam kitab Bhagawatapurana. Menurut cerita dalam kitab,
Wamana sebagai Brahmana cilik datang ke istana Raja Bali
karena pada saat itu Raja Bali mengundang seluruh Brahmana
untuk diberikan hadiah. Ia sudah dinasehati oleh Sukracarya
agar tidak memberikan hadiah apapun kepada Brahmana
yang aneh dan lain daripada biasanya. Pada waktu pemberian hadiah, seorang
Brahmana kecil muncul di antara Brahmana-Brahmana yang sudah tua-tua. Brahmana
tersebut juga akan diberi hadiah oleh Bali.
Wamana
Menginjak Kepala Mahabali
|
Brahmana kecil itu meminta tanah seluas tiga jengkal yang
diukur dengan langkah kakinya. Raja Bali begitu takabur dan melupakan nasehat
dari Sukracarya. Lalu Raja Bali menyuruh Brahmana kecil itu untuk melangkah.
Pada waktu itu juga, Brahmana
tersebut membesar dan terus membesar. Dengan ukurannya yang sangat besar, ia
mampu melangkah di surga dan bumi sekaligus (Bhur, Bwah, Swah). Pada langkah
yang pertama, ia menginjak surga. Pada langkah yang kedua, ia menginjak bumi.
Pada langkah yang ketiga, karena tidak ada lahan untuknya berpijak, maka Bali
menyerahkan kepalanya. Sejak itu, tamatlah kekuasaan Bali. Karena terkesan
dengan kedermawanan Bali, Wamana memberinya gelar Mahabali. Ia juga berjanji
bahwa kelak Bali akan menjadi Indra pada Manwantara berikutnya.
6.
Parasurama
Avatar
Parasurama
|
Parasurama adalah nama seorang tokoh Ciranjiwin dalam ajaran agama Hindu.
Secara harfiah, nama Parashurama
bermakna "Rama yang bersenjata kapak". Nama lainnya adalah Bhargawa
yang bermakna "keturunan Maharesi Bregu".
Ia sendiri dikenal sebagai awatara Wisnu yang keenam dan hidup pada zaman Tretayuga. Pada zaman ini banyak kaum kesatria yang berperang satu sama lain sehingga
menyebabkan kekacauan di dunia. Maka, Wisnu sebagai dewa
pemelihara alam semesta lahir ke dunia sebagai
seorang brahmana berwujud angker, yaitu Rama
putra Jamadagni, untuk menumpas para kesatria tersebut.
Parasurama merupakan putra bungsu Jamadagni,
seorang resi keturunan Bregu. Itulah sebabnya ia pun terkenal dengan julukan Bhargawa.
Sewaktu lahir Jamadagni memberi nama putranya itu Rama. Setelah dewasa,
Rama pun terkenal dengan julukan Parasurama karena selalu membawa kapak sebagai
senjatanya. Selain itu, Parasurama juga memiliki senjata lain berupa busur
panah yang besar luar biasa.
Sewaktu muda Parasuama pernah membunuh ibunya sendiri, yang
bernama Renuka. Hal itu disebabkan karena kesalahan Renuka dalam melayani
kebutuhan Jamadagni sehingga menyebabkan suaminya itu marah. Jamadagni kemudian
memerintahkan putra-putranya supaya membunuh ibu mereka tersebut. Ia menjanjikan
akan mengabulkan apa pun permintaan mereka. Meskipun demikian, sebagai seorang
anak, putra-putra Jamadagni, kecuali Parasurama, tidak ada yang bersedia
melakukannya. Jamadagni semakin marah dan mengutuk mereka menjadi batu.
Parasurama sebagai putra termuda dan paling cerdas ternyata
bersedia membunuh ibunya sendiri. Setelah kematian Renuka, ia pun mengajukan
permintaan sesuai janji Jamadagni. Permintaan tersebut antara lain, Jamadagni
harus menghidupkan dan menerima Renuka kembali, serta mengembalikan keempat
kakaknya ke wujud manusia. Jamadagni pun merasa bangga dan memenuhi semua
permintaan Parasurama.
Pada zaman kehidupan Parasurama, ketenteraman dunia
dikacaukan oleh ulah kaum kesatria yang gemar
berperang satu sama lain. Parasurama pun bangkit menumpas mereka, yang
seharusnya berperan sebagai pelindung kaum lemah. Tidak terhitung banyaknya
kesatria, baik itu raja ataupun pangeran, yang tewas terkena kapak dan panah
milik Rama putra Jamadagni.
Konon Parasurama bertekad untuk menumpas habis seluruh
kesatria dari muka bumi. Ia bahkan dikisahkan telah mengelilingi dunia sampai
tiga kali. Setelah merasa cukup, Parasurama pun mengadakan upacara pengorbanan
suci di suatu tempat bernama Samantapancaka. Kelak pada zaman berikutnya,
tempat tersebut terkenal dengan nama Kurukshetra
dan dianggap sebagai tanah suci yang menjadi ajang perang
saudara besar-besaran antara keluarga Pandawa
dan Korawa.
Parasurama
|
Penyebab khusus mengapa Parasurama bertekad menumpas habis
kaum kesatria adalah karena perbuatan raja Kerajaan
Hehaya bernama Kartawirya Arjuna yang
telah merampas sapi milik Jamadagni. Parasurama marah dan membunuh raja
tersebut. Namun pada kesempatan berikutnya, anak-anak Kartawirya Arjuna
membalas dendam dengan cara membunuh Jamadagni. Kematian Jamadagni inilah yang
menambah besar rasa benci Parasurama kepada seluruh golongan kesatria.
Meskipun jumlah kesatria yang mati dibunuh Parasurama tidak
terhitung banyaknya, namun tetap saja masih ada yang tersisa hidup. Antara lain
dari Wangsa Surya yang berkuasa di Ayodhya, Kerajaan Kosala.
Salah seorang keturunan wangsa tersebut adalah Sri
Rama putra Dasarata. Pada suatu hari ia
berhasil memenangkan sayembara di Kerajaan Mithila
untuk memperebutkan Sita putri negeri
tersebut. Sayembara yang digelar ialah yaitu membentangkan busur pusaka
pemberian Siwa. Dari sekian banyak pelamar
hanya Sri Rama yang mampu mengangkat, bahkan mematahkan busur tersebut.

Pada zaman Dwaparayuga
Wisnu terlahir kembali sebagai Kresna putra Basudewa. Pada zaman tersebut Parasurama menjadi
guru sepupu Kresna yang bernama Karna yang
menyamar sebagai anak seorang brahmana.
Setelah mengajarkan berbagai ilmu kesaktian, barulah Parasurama mengetahui
kalau Karna berasal dari kaum kesatria. Ia pun mengutuk Karna akan lupa
terhadap semua ilmu kesaktian yang pernah dipelajarinya pada saat pertempuran
terakhirnya. Kutukan tersebut menjadi kenyataan ketika Karna berhadapan dengan
adiknya sendiri, yang bernama Arjuna, dalam perang di Kurukshetra.
Parasurama diyakini masih hidup pada zaman sekarang. Konon
saat ini ia sedang bertapa mengasingkan diri di puncak gunung, atau di dalam
hutan belantara.
7.
Rama Avatar
Rama
Awatara
|
Rama atau Ramacandra adalah seorang raja legendaris yang
terkenal dari India yang konon hidup pada
zaman Tretayuga, keturunan Dinasti Surya atau Suryawangsa.
Ia berasal dari Kerajaan Kosala yang
beribukota Ayodhya. Menurut pandangan Hindu, ia merupakan awatara
Dewa Wisnu yang ketujuh yang turun ke bumi
pada zaman Tretayuga. Sosok dan kisah
kepahlawanannya yang terkenal dituturkan dalam sebuah sastra
Hindu Kuno yang disebut Ramayana,
tersebar dari Asia Selatan sampai Asia Tenggara. Terlahir sebagai putera sulung dari
pasangan Raja Dasarata dengan Kosalya, ia dipandang sebagai Maryada
Purushottama, yang artinya "Manusia Sempurna". Setelah dewasa,
Rama memenangkan sayembara dan beristerikan Dewi Sita, inkarnasi dari Dewi Laksmi. Rama memiliki anak kembar, yaitu Kusa dan Lawa.
Dalam wiracarita Ramayana diceritakan bahwa sebelum Rama lahir,
seorang raja raksasa bernama Rahwana telah meneror Triloka (tiga dunia) sehingga
membuat para dewa merasa cemas. Atas hal tersebut, Dewi
bumi menghadap Brahma agar beliau
bersedia menyelamatkan alam beserta isinya. Para dewa
juga mengeluh kepada Brahma, yang telah
memberikan anugerah kepada Rahwana sehingga raksasa tersebut menjadi takabur.
Setelah para dewa bersidang, mereka memohon agar Wisnu
bersedia menjelma kembali ke dunia untuk menegakkan dharma
serta menyelamatkan orang-orang saleh. Dewa Wisnu menyatakan bahwa ia bersedia
melakukannya. Ia berjanji akan turun ke dunia sebagai Rama, putera raja Dasarata dari Ayodhya.
Dalam penjelmaannya ke dunia, Wisnu ditemani oleh Naga
Sesa yang akan mengambil peran sebagai Laksmana,
serta Laksmi yang akan mengambil peran sebagai
Sita.
8.
Kresna Avatar
Krisna
Awatara
|
Kresna adalah salah satu dewa
yang dipuja oleh umat Hindu,
berwujud pria berkulit gelap atau biru tua, memakai dhoti
kuning dan mahkota yang dihiasi bulu merak. Dalam seni lukis
dan arca, umumnya ia digambarkan sedang
bermain seruling sambil berdiri dengan kaki yang ditekuk ke samping. Legenda
Hindu dalam kitab Purana dan Mahabharata menyatakan bahwa ia adalah putra
kedelapan Basudewa dan Dewaki dari kerajaan Surasena,
kerajaan mitologis di India Utara. Secara
umum, ia dipuja sebagai awatara (inkarnasi) Dewa Wisnu
kedelapan di antara sepuluh awatara Wisnu.
Dalam beberapa sekte Hindu, misalnya Gaudiya Waisnawa,
ia dianggap sebagai manifestasi dari kebenaran mutlak, atau perwujudan Tuhan
itu sendiri, dan dalam tafsiran kitab-kitab yang mengatasnamakan Wisnu atau Kresna, misalnya Bhagawatapurana, ia dimuliakan sebagai
Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Bhagawatapurana, ia digambarkan
sebagai sosok penggembala muda yang mahir
bermain seruling, sedangkan dalam wiracarita Mahabharata
ia dikenal sebagai sosok pemimpin yang bijaksana, sakti, dan berwibawa. Selain
itu ia dikenal pula sebagai tokoh yang memberikan ajaran filosofis, dan umat
Hindu meyakini Bhagawadgita sebagai
kitab yang memuat kotbah Kresna kepada Arjuna tentang ilmu rohani.
9.
Gautama Buddha Avatar
Budha
Awatara
|
Budha adalah perwujudan Awatara Wisnu yang kesembilan dan di
antara perwujudan awatara Wisnu awatara Budha adalah yang sempurna di mana umat
manusia diajarkan tentang dharma dan kebahagiaan yang mutlak. Di jaman kerajaan
Kapilavastu dengan rajanya Suddhodana dan ratunya Mahamaya. Di mana sang ratu
kemudian melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan yang mereka beri nama
Siddhartha, akan tetapi sungguhlah sayang tujuh hari kemudian, sang ratu
Mahamaya meninggal dunia.
Seorang Rsi bijaksana/penasehat raja pada saat itu yang
bernama Kala Devala memberi tahu sang raja bahwa ketika pangeran Siddhartha
beranjak dewasa ia akan melihat hal-hal yang akan membuatnya sedih dan pergi
menuju hutan. Mendengar hal itu raja tidak memperbolehkan Siddhartha untuk
pergi melewati gerbang istana.
Siddhartha merupakan anak pintar, berbahagia dan juga amat
penyayang serta lembut. Pada suatu hari Siddhartha dan sepupunya Devadatta
sedang berjalan-jalan. Devadatta tiba-tiba melihat seekor angsa dan memanahnya
sehingga angsa tersebut terjatuh. Siddhartha amat terkejut melihat burung yang
terluka tersebut, Devadatta bersikeras untuk memiliki burung angsa tersebut
karena ia yang memanahnya. Akan tetapi Siddharta mengatakan itu adalah
miliknya. Akhirnya mereka pergi ke Rsi Kala Devala sang penasehat raja di mana
kemudian Rsi itu mengatakan angsa tersebut menjadi milik orang yang
menyelamatkannya bukan orang yang berusaha membunuhnya.
Siddhartha tumbuh dewasa dan menjadi seorang pria muda. Raja
Suddhodana menikahkannya dengan seorang putri cantik yang bernama Yashodhara.
Raja berharap agar Siddhartha tidak akan pernah meninggalkan istana. Tapi
Siddhartha tidak merasa bahagia di dalam istana. Ia memerintahkan pelayannya
yang setia Channa untuk menemaninya berjalan-jalan keluar istana. Dalam
perjalanannya Siddhartha melihat orang yang sudah tua yang bungkuk dimana Siddhartha
tidak pernah melihatnya di dalam istana. Melihat orang yang sedang sakit keras
dan melihat orang meninggal. Siddartha menyadari bahwa ayahnya mengungkungnya
di dalam istana, untuk melindunginya agar ia tidak melihat hal-hal semacam itu.
Siddartha keluar lagi dan kali ini ia melihat seorang pria
dengan kepala gundul. Ia bertanya pada pelayannya dan pelayannya berkata itu
adalah seorang bijak yang meninggalkan segalanya serta pergi ke hutan untuk
mencari kebahagiaan.
Pada suatu kesempatan Siddharta berpikir untuk meninggalkan
Istana dan mencari kebahagiaan. Akhirnya pada suatu malam, ketika istri dan
anaknya Rahula sedang tertidur, Siddartha bersama pelayannya yang setia Channa
dengan diam-diam pergi meninggalkan istana. Mereka menyeberangi sungai Anoma,
disana Siddartha melepaskan jubah kerajaanya dan memberikannya kepada Channa
untuk mengembalikannya ke istana. Kemudian Siddartha menggunakan jubah oranye
serta memotong rambut panjangnya. Siddartha pergi menemui satu guru ke guru
yang lain menanyakan; Apakah Anda tahu jalan untuk mencapai kebahagian?
Tapi tidak ada seorang pun bisa memberitahunya. Akhirnya ia
duduk di bawah pohon Bodhi dan berusaha menemukan jawabannya sendiri. Beberapa
hari kemudian ia menjadi seorang yang bijak dan orang-orang menyebutnya Gautama
Budha. Budha mencintai seluruh binatang dan memperlakukan mereka dengan penuh
kasih sayang.
Pada suatu hari Dewa Siwa menguji Sang Budha karena Siwa
tahu Awatara ini yang akan membawa umat dunia untuk mencari jalan kebahagian
karena mempunyai jiwa kasih sayang terhadap semua makhluk. Dewa Siwa mengirim
binatang buas yaitu gajah liar dan harimau liar nan ganas. Tetapi yang terjadi
pada binatang-binatang tersebut setelah melihat cahaya kasih sayang yang
dipancarkan oleh Sang Budha binatang-binatang tersebut langsung tunduk hormat
dan bersimpuh di bawah kaki Sang Budha. Akhirnya Sang Budha mempunyai pengikut
yang sangat banyak dan pengikutnya tinggal di dalam sebuah grup yang di sebut
Sangha.
Sang Budha mengajarkan bahwa seseorang bisa mendapatkan kebahagiaan dengan merasa puas akan apa yang dimilikinya dan menunjukkan kasih sayang pada semua mahluk. Pada akhirnya di sebuah tempat yang bernama Kusinara, Sang Budha berbaring di bawah pohon Sala dan menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Sang Budha mengajarkan bahwa seseorang bisa mendapatkan kebahagiaan dengan merasa puas akan apa yang dimilikinya dan menunjukkan kasih sayang pada semua mahluk. Pada akhirnya di sebuah tempat yang bernama Kusinara, Sang Budha berbaring di bawah pohon Sala dan menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Maka sesuai petunjuk dari Sakyamuni yang diperoleh oleh Ida
Mpu Kuturan, Sang Budha Gautama akan bereinkarnasi kembali karena di jaman Kali
Sang Budha akan berkhotbah kembali sebagai Awatara yang terakhir agar dunia ini
bisa tentram dan damai. Dengan alasan tersebut Sang Budha tidak moksha atau
kembali ke Nirwana di jaman itu karena Sang Budha akan bereinkarnasi kembali
dengan Awataranya yang terakhir yaitu Kalki Awatara.
10. Kalki Avatar
Kalki (juga disalin sebagai Kalkin dan Kalaki) adalah
awatara kesepuluh dan awatara (inkarnasi)
terakhir Dewa Wisnu Sang pemelihara, yang akan
datang pada akhir zaman Kaliyuga (zaman
kegelapan dan kehancuran).
Kata Kalki seringkali merupakan suatu kiasan dari
“keabadian” atau “masa”. Asal mula nama tersebut diperkirakan berasal dari kata
Kalka yang bermakna “kotor”, “busuk”, atau “jahat” dan oleh karena itu
"Kalki" berarti “Penghancur kejahatan”, “Penghancur kekacauan”,
"Penghancur kegelapan", atau “Sang Pembasmi Kebodohan”. Dalam bahasa Hindi, kalki avatar berarti “inkarnasi
hari esok”.
Kalki
Awatara
|
Berbagai tradisi memiliki berbagai kepercayaan dan pemikiran
mengenai kapan, bagaimana, di mana, dan mengapa Kalki Awatara muncul.
Penggambaran yang umum mengenai Kalki Awatara yaitu beliau adalah Awatara yang
mengendarai kuda putih (beberapa sumber mengatakan nama kudanya “Devadatta”
(anugerah Dewa) dan dilukiskan sebagai kuda bersayap). Kalki memiliki pedang
berkilat yang digunakan untuk memusnahkan kejahatan dan menghancurkan iblis Kali, kemudian menegakkan kembali Dharma dan memulai zaman yang baru.
Salah satu sumber yang pertama kali menyebutkan istilah
Kalki adalah Wisnu Purana, yang diduga muncul
setelah masa Kerajaan Gupta sekitar abad ke-7
sebelum Masehi. Wisnu adalah Dewa pemelihara
dan pelindung, salah satu bagian Trimurti, dan
merupakan penengah yang mempertimbangkan penciptaan dan kehancuran sesuatu.
Kalki juga muncul di salah satu dari 18 kitab Purana
yang utama, Agni Purana. Kitab purana yang
memuat khusus tentang Kalki adalah Kalki Purana.
Di sana dibahas kapan, dimana, bagaimana, dan mengapa Kalki muncul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar