Gempa
Bumi, Tsunami dan Tanah longsor
Gempa bumi
Gempa bumi adalah getaran
atau guncangan yang terjadi di permukaan bumi akibat pelepasan energi dari
dalam secara tiba-tiba yang menciptakan gelombang seismik. Gempa Bumi biasa disebabkan oleh pergerakan kerak Bumi (lempeng Bumi).
Frekuensi suatu wilayah, mengacu pada jenis dan ukuran gempa Bumi yang di alami
selama periode waktu. Gempa Bumi diukur dengan menggunakan alat Seismometer. Moment
magnitudo adalah skala yang paling umum di mana gempa Bumi terjadi untuk
seluruh dunia. Skala Rickter adalah skala yang di laporkan oleh observatorium
seismologi nasional yang di ukur pada skala besarnya lokal 5 magnitude. kedua
skala yang sama selama rentang angka mereka valid. gempa 3 magnitude atau lebih
sebagian besar hampir tidak terlihat dan besar nya 7 lebih berpotensi menyebabkan
kerusakan serius di daerah yang luas, tergantung pada kedalaman gempa.
Intensitas getaran diukur pada modifikasi Skala Mercalli.
Jenis-jenis
gempa bumi:
Gempa bumi
tektonik
Gempa Bumi ini
disebabkan oleh adanya aktivitas tektonik, yaitu pergeseran lempeng-lempeng
tektonik secara mendadak yang mempunyai kekuatan dari yang sangat kecil hingga
yang sangat besar. Gempa bumi ini banyak menimbulkan kerusakan atau bencana
alam di Bumi, getaran gempa Bumi yang kuat mampu menjalar keseluruh bagian
Bumi. Gempa bumi tektonik disebabkan oleh pelepasan tenaga yang terjadi karena
pergeseran lempengan plat tektonik seperti layaknya gelang karet ditarik dan
dilepaskan dengan tiba-tiba.
Gempa bumi
tumbukan
Gempa Bumi ini
diakibatkan oleh tumbukan meteor atau asteroid yang jatuh ke Bumi, jenis gempa
Bumi ini jarang terjadi
Gempa bumi
runtuhan
Gempa Bumi ini
biasanya terjadi pada daerah kapur ataupun pada daerah pertambangan, gempabumi
ini jarang terjadi dan bersifat lokal.
Gempa bumi
vulkanik (gunung api)
Gempa Bumi ini
terjadi akibat adanya aktivitas magma, yang biasa terjadi sebelum gunung api
meletus. Apabila keaktifannya semakin tinggi maka akan menyebabkan timbulnya
ledakan yang juga akan menimbulkan terjadinya gempa bumi. Gempa bumi tersebut
hanya terasa di sekitar gunung api tersebut.
Tsunami

Dampak negatif yang diakibatkan tsunami adalah merusak apa saja yang
dilaluinya. Bangunan, tumbuh-tumbuhan, dan mengakibatkan korban jiwa manusia
serta menyebabkan genangan, pencemaran air asin lahan pertanian, tanah, dan air
bersih.
Sejarawan Yunani bernama Thucydides merupakan orang pertama yang mengaitkan
tsunami dengan gempa bawah laut. Namun hingga abad ke-20, pengetahuan mengenai
penyebab tsunami masih sangat minim. Penelitian masih terus dilakukan untuk
memahami penyebab tsunami.
geologi, geografi, dan oseanografi pada masa lalu menyebut tsunami sebagai
"gelombang laut seismik".
Beberapa kondisi meteorologis, seperti badai tropis, dapat menyebabkan
gelombang badai yang disebut sebagai meteor tsunami yang ketinggiannya
beberapa meter di atas gelombang laut normal. Ketika badai ini mencapai
daratan, bentuknya bisa menyerupai tsunami, meski sebenarnya bukan tsunami.
Gelombangnya bisa menggenangi daratan. Gelombang badai ini pernah menggenangi
Burma (Myanmar) pada Mei 2008.
Wilayah di sekeliling Samudra Pasifik memiliki Pacific Tsunami
Warning Centre (PTWC) yang mengeluarkan peringatan jika terdapat ancaman
tsunami pada wilayah ini. Wilayah di sekeliling Samudera Hindia sedang
membangun Indian Ocean Tsunami Warning System (IOTWS) yang akan berpusat
di Indonesia.
Tanah longsor
Longsor atau
sering disebut juga gerakan tanah adalah suatu peristiwa geologi yang
terjadi karena pergerakan masa batuan atau tanah dengan berbagai tipe dan jenis
seperti jatuhnya bebatuan atau gumpalan besar tanah. Secara umum kejadian
longsor disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor pendorong dan faktor pemicu.
Faktor pendorong adalah faktor-faktor yang memengaruhi kondisi material
sendiri, sedangkan faktor pemicu adalah faktor yang menyebabkan bergeraknya
material tersebut. Meskipun penyebab utama kejadian ini adalah gravitasi yang
memengaruhi suatu lereng yang curam, namun ada pula faktor-faktor lainnya yang
turut berpengaruh:
erosi yang
disebabkan aliran air permukaan atau air hujan, sungai-sungai atau gelombang
laut yang menggerus kaki lereng-lereng bertambah curam.
lereng dari
bebatuan dan tanah diperlemah melalui saturasi yang diakibatkan hujan lebat.
gempa bumi
menyebabkan getaran, tekanan pada partikel-partikel mineral dan bidang lemah
pada massa batuan dan tanah yang mengakibatkan longsornya lereng-lereng
tersebut.
gunung berapi
menciptakan simpanan debu yang lengang, hujan lebat dan aliran debu-debu.
getaran dari
mesin, lalu lintas, penggunaan bahan-bahan peledak, dan bahkan petir.
berat yang
terlalu berlebihan, misalnya dari berkumpulnya hujan atau salju.
cerpen tsunami : pengantin mata biru

Setelah usai bergelimang kesibukan
membagi-bagikan bantuan logistik kepada korban tsunami daerah itu bersama
rekan-rekan prajurit TNI sejak pagi hingga siang, aku berkesempatan
melihat-lihat kondisi daerah tersebut lebih dekat. Senja mulai rebah ke
peraduan dan matahari menyisakan redup sinarnya. Cahaya temaram sang raja siang
itu begitu kontras dengan suasana muram di kampung nelayan yang terletak dikaki
bukit Ujung Seudon tersebut. Kesunyian yang mencekam begitu terasa. Aku telah
berjalan kurang lebih 1,5 kilometer dari basecamp. Dan terus berjalan.
Pada jarak kurang lebih dua meter
dari tempatku berdiri, aku melihat sesosok lelaki muda dengan pakaian kumal
duduk diatas sebongkah tembok bekas bangunan runtuh. Aku mendekati lelaki itu
perlahan. Matanya menerawang seakan menembus garis batas cakrawala nun di ujung
sana. Sekilas aku melihat sosok lelaki itu terlihat sedikit berbeda dengan
lelaki korban pengungsi yang kutemui sebelumnya. Ia memiliki postur tubuh
relatif jangkung, kulit putih kemerahan, rambut sedikit pirang, alis mata tebal
dan bermata biru. Ya, bermata biru. Aku sedikit terkejut dan takjub menyaksikan
keajaiban yang terjadi dihadapanku.
“Maaf, boleh saya duduk disini,
disamping anda?” aku menyapa lelaki itu.
Lelaki itu tidak menjawab, lalu
menggeser pantatnya ke kiri dan memberi ruang bagiku untuk duduk. Matanya masih
menatap kosong kedepan.
Aku menelan ludah menata kegugupan
yang datang mendera, lalu duduk di sampingnya. Sejenak kami diam seperti
mencoba menebak arah pikiran masing-masing. Sekilas aku melirik sosok lelaki
itu. Ia memiliki bentuk rahang yang tegas menonjol dan hamparan misai yang tumbuh
kasar. Sebaris kumis tipis melintang tak rapi dibawah hidung mancungnya.
Lingkaran hitam disekeliling mata gagal menyembunyikan pupil biru yang menyala
redup.
“Datang dari Jakarta?” Tanya lelaki
itu memecah kesenyapan diantara kami. Ia menatapku setengah hati.
“Ya, saya tiba tadi pagi dengan
Kapal KRI Amboina 503.”
“Relawan ?”
Aku mengangguk.
“Dari LSM Nusantara Membangun. O,
ya, kenalkan, nama saya Firman,” sahutku sambil mengulurkan tangan.
“Syamsuddin. Panggil saja Syam,”
jawab lelaki itu seraya menyambut uluran tangan saya. Setelah itu, ia kembali
mengalihkan pandangannya ke depan. Menerawang entah kemana.
“Sudah lama tinggal disini?” tanyaku
hati-hati.
“Sejak lahir saya disini.” sahut
Syam pelan. “Sampai menikah.” Nadanya terdengar getir.
Aku menangkap kesedihan menggelayut
disana.
“Kami adalah pengantin bermata
biru,” imbuh Syam seperti mengigau. Matanya kembali memandang kosong kedepan
namun di pelupuknya terlihat bulir-bulir air mata mulai mengalir.
Seketika perasaan bersalah membebani hatiku. Tak urung, rasa penasaran mengiringi untuk mengetahui maksud dari “Pengantin Bermata Biru” itu.
Seketika perasaan bersalah membebani hatiku. Tak urung, rasa penasaran mengiringi untuk mengetahui maksud dari “Pengantin Bermata Biru” itu.
Syam lalu mengusap air mata dengan
punggung tangan dan memperbaiki letak duduknya. Dia lalu memandangku lekat.
Mata birunya terlihat memiliki daya pukau luar biasa dalam remang senja yang
muram. “Maafkan saya, bung Firman. Kalau Anda tidak keberatan, saya akan
ceritakan maksud ucapan saya tadi,” kata Syam seperti bisa menebak arah
pemikiranku saat ini. Aku mengangguk, “Tidak apa-apa, silakan. Sepanjang itu
dapat mengurangi beban batin anda”, sahutku mencoba menghibur. Aku menatap
matanya kembali mengalirkan keyakinan.
Syam menghela nafas lega. Ia
tersenyum. Ketegangan yang tercipta sebelumnya diantara kami pun mencair. Dan
cerita dari mulutnya mengalir lancar. Aku menyimaknya dengan antusias.
****
Dua puluh empat tahun silam, Syam
lahir sebagai putera nelayan di Desa Kuala Daya dan merupakan anak sulung dari
dua bersaudara . Adik bungsunya, Fatimah, yang lahir enam tahun kemudian turut
menjadi korban keganasan tsunami bersama kedua orang tuanya. Mata biru yang
dimilikinya merupakan jejak genetis dari kakek pihak ibunya yang berdarah
Portugis.
Konon, menurut cerita ibundanya,
setelah pelayaran berminggu-minggu dari tempat asal sekitar lima abad silam,
kakek moyangnya bersama rekan-rekannya terdampar di Kerajaan Negeri Daya.
Penguasa setempat saat itu, Pahlawan Syah, memerintahkan balatentaranya menemui
pasukan Portugis yang terdampar tersebut. Tak ayal, perang pun pecah antara
Balatentara Daya dan pasukan asing yang berambut pirang, berhidung mancung, dan
berkulit putih. Akhirnya, tentara asing itu pun takluk di bawah kekuasaan
balatentara Pahlawan Syah yang kemudian menawan mereka di sebuah kamp berpagar
tinggi yang dikenal saat ini sebagai Kampung Meunanga. Pahlawan Syah yang
ketika itu resah oleh perang sipil dengan beberapa kerajaan tetangga seperti
Pase dan Pidie memanfaatkan keberadaan tentara Portugis, yang kebetulan
mengerti soal senjata api, untuk membuat mesiu bagi armada perangnya. Karena
tak ada pilihan lain, ditambah lagi tidak adanya bantuan dari negeri leluhur,
mereka akhirnya tunduk pada perintah Pahlawan Syah dan hidup berbaur sebagai
orang Daya. Beberapa diantaranya menjalin kasih dan kemudian menikah dengan
penduduk setempat. Salah satu keturunan mereka diantaranya adalah keluarga
Syam. Komunitas mereka dikenal sebagai “Bule Lamno”.
Meski berperawakan seperti “bule”,
keluarga Syam yang hidup dari hasil melaut ini merupakan muslim yang taat dan
penganut Islam yang fanatik. Mereka sempat mengalami tindakan diskriminatif
karena dianggap berbeda dengan warga setempat. Itulah sebabnya, Fatimah, meski
memiliki anugerah kecantikan yang luar biasa, sempat mengurung diri di rumah
dalam waktu lama dan cenderung tertutup.
Keluarga Syam, termasuk keluarga
“Bule Lamno” lainnya, tidak terlalu nyaman dengan sebutan yang beredar di
masyarakat seperti si mata biru atau si rambut pirang. Hal ini disebabkan
mereka telah tinggal di daerah yang sama selama berpuluh-puluh tahun serta
mengerjakan aktifitas yang sama dengan penduduk asli. Sebagai ungkapan
kekesalannya, Syam pernah menghitamkan rambut pirangnya dengan campuran minyak
kelapa dan arang sukun agar perbedaan fisik dengan penduduk asli di sana tidak
terlalu mencolok.
Sejak kecil, Syam sangat senang
bermain-main di pesisir pantai bersama rekan-rekannya. Berlari di pasir putih
dan menikmati debur ombak menghempas lembut di kaki merupakan suatu sensasi
tersendiri. Mereka terkadang bermain bola diatas pasir dan merasakan betapa
susahnya mengejar bola dengan kaki yang begitu berat dibebani himpitan pasir.
Tsunami dashyat akhirnya menenggelamkan semua kenangan indahnya itu.
Namun kenangan yang tak akan
tenggelam adalah tentang Aisyah, inong bermata biru yang telah membuat hatinya
tertambat di sana. Wanita berparas jelita itu juga dianugerahi sepasang bola
mata biru sebagai ciri khas menonjol komunitas “Bule Lamno”.
Mereka bertemu pertama kali saat
penyelenggaraan upacara adatSeumeuleung sebagai peringatan syukuran
penabalan Alauddin Riayat Syah sebagai Sultan di Negeri Daya yang kini menjadi
Lamno. Sang Sultan kemudian bergelar Po Teumeurehom, yang sekarang makamnya di
bukit Gle Jong dan kerap dikunjungi oleh ribuan peziarah. Penyelenggaraan acara
ini bertepatan dengan hari raya Idul Adha.
Syam menemukan Aisyah ditengah
sekelompok wanita muda yang sedang bercengkrama dan berjalan menyusuri pantai
ditengah kemeriahan acara Seumeuleueng 2 tahun silam. Syam bersama
kawan-kawannya kebetulan berpapasan dengan kelompok gadis itu.
“Inong Tari Seudah Rupa [1], hendak kemana?” goda Hamzah salah
seorang rekannya pada kelompok gadis itu.
Mereka tidak menjawab. Hanya
tersenyum sebelum berlari kecil sambil tersipu. Syam sempat menangkap sosok
seorang gadis berkerudung putih dan bermata biru seperti yang ia miliki.
Pandangan mereka sempat bersirobok sesaat dan membuat hatinya bergetar hebat.
Dia jodohku kelak, batin Syam.
Sejak pertemuan pertama tadi, Syam
berusaha mencari tahu keberadaan Aisyah melalui adiknya Fatimah. Ternyata
Aisyah adalah rekan sekelas Fatimah di SMU Lamno. Melalui adiknya, Syam menitip
pesan untuk berkenalan namun tidak memperoleh tanggapan lebih lanjut. Tapi ia
tidak kecewa. “Aisyah orangnya pemalu, Bang. Tapi salam abang buat dia sudah
saya sampaikan,” kata Fatimah menjelaskan. Syam terus mencecar Fatimah tentang
bagaimana reaksi Aisyah setelah menerima pesannya. Namun Fatimah hanya angkat
bahu sembari tersenyum jenaka.
Saat musim Meuseuke Engkot [2], Syam yang sehari-harinya membantu
ayahnya mencari ikan di laut dan hanya tamat SMA itu, beralih profesi menjadi
pengemudi RBT [3]. Dengan
meminjam motor seorang cukong dengan target setoran harian, Syam melakoni
profesinya itu dengan tekun.
Di suatu siang yang terik beberapa
bulan setelah mereka pertama kali bertemu, saat mengendarai motor RBT-nya, Syam
melihat Aisyah tengah berjalan sendiri. Langkahnya terlihat bergegas. Syam lalu
mendekati gadis itu dengan motornya.
“Terimakasih Bang, saya tidak mau
naik RBT. Saya mau jalan saja,” tampik gadis itu terlebih dulu sebelum Syam
menyapanya. Ia lalu mempercepat langkah.
“Kalau begitu, biar abang temani
jalan. RBT-nya biar abang tuntun,” kata Syam berkompromi dan mencoba menyusul
Aisyah sambil menuntun motor disampingnya.
Gadis itu mendadak menghentikan
langkahnya, berbalik dan memandang Syam dengan tajam. Mata biru Aisyah ibarat
belati menghunjam tepat di hatinya.
“Ini jalan sepi, Bang. Jangan sampai
mengundang cibiran orang nanti. Lebih baik abang cari penumpang lain saja.
Lagipula rumah saya tidak jauh lagi koq, tinggal sekali belok disana” kata
Aisyah lembut sambil menunjuk ke depan.
“Saya Syamsuddin, kakak Fatimah,
teman kelasmu. Saya bukan pemuda berandalan yang akan menganggumu, Dik. Abang
hanya ingin berkenalan dengan kamu. Tapi kalau memang keberatan, abang akan
pergi sekarang,” sahut Syam. Dengan pesona mata biru elangnya ia balas menatap
manik mata Aisyah yang kemudian tertunduk malu. Syam merasakan degup jantungnya
berdetak lebih cepat, sang pujaan hati itu telah berada tepat di depannya.
Ia kemudian menaiki sadel motornya.
Sebelum memutar balik motor kearah yang berlawanan dengan Aisyah, ia berkata di
sela-sela deru mesin motor,” Aisyah, mata biru kamu indah.” Syam kemudian
memacu motornya.
Sepulang sekolah, keesokan harinya,
adiknya Fatimah menyampaikan salam kembali dari Aisyah setelah sejumlah salam
darinya tak berbalas. Katanya, Mata Biru Abang Syam juga indah dan mohon maaf
atas kejadian kemarin.
Syam tersenyum. Ia baru saja
menorehkan warna pelangi dalam satu babak kehidupannya.
Hari-hari berikutnya, menjadi hari-hari penuh gelora cinta bagi Syam. Setiap adiknya berangkat ke sekolah, ia menitip salam atau terkadang surat cinta untuk Aisyah. Syariat Islam yang ditegakkan secara ketat di Aceh tidak memungkinkan mereka sebagai pasangan yang belum menikah bertemu secara terbuka. Namun surat cinta di antara keduanya seakan menjadi saksi bisu bagi perjalanan cinta mereka. Ketika masih menjadi pengemudi RBT, Syam senantiasa menguntit dari jauh perjalanan pulang Aisyah ke rumah. Aisyah tahu itu. Ia selalu menoleh ke belakang sesaat sebelum berbelok di tikungan, melontarkan senyum fenomenalnya ke arah Syam yang duduk diatas sadel motor RBT 50 meter darinya. Syam membalas dengan lambaian tangan dan mengembangkan senyum balasan.
Hari-hari berikutnya, menjadi hari-hari penuh gelora cinta bagi Syam. Setiap adiknya berangkat ke sekolah, ia menitip salam atau terkadang surat cinta untuk Aisyah. Syariat Islam yang ditegakkan secara ketat di Aceh tidak memungkinkan mereka sebagai pasangan yang belum menikah bertemu secara terbuka. Namun surat cinta di antara keduanya seakan menjadi saksi bisu bagi perjalanan cinta mereka. Ketika masih menjadi pengemudi RBT, Syam senantiasa menguntit dari jauh perjalanan pulang Aisyah ke rumah. Aisyah tahu itu. Ia selalu menoleh ke belakang sesaat sebelum berbelok di tikungan, melontarkan senyum fenomenalnya ke arah Syam yang duduk diatas sadel motor RBT 50 meter darinya. Syam membalas dengan lambaian tangan dan mengembangkan senyum balasan.
Setelah Aisyah tamat SMU, Syam tidak
perlu menunggu lama lagi untuk melamar pujaan hatinya itu. Bersama ayah, ibu
dan kerabatnya, mereka datang melamar Aisyah untuk menjadi istri Syam. Sambutan
hangat mereka terima dari keluarga Aisyah yang kemudian segera menetapkan hari
pernikahan mereka sebulan setelah prosesi pelamaran tersebut.
“Kita adalah pengantin bermata
biru,” kata Syam mesra di telinga istrinya, Aisyah diatas pelaminan, di
sela-sela kemeriahan pesta pernikahan mereka, beberapa bulan silam. Aisyah
tersenyum malu dan mencubit pinggang suaminya. Seusai pesta pernikahan, mereka
menempati rumah Aisyah karena sebagai anak tunggal satu-satunya, Aisyah belum
diperkenankan tinggal terpisah jauh dari ayah bundanya. Syam memaklumi itu.
Lagipula, rumahnya pun hanya berjarak kurang lebih dua kilometer dari tempatnya
bermukim sekarang.
Syam menjalani profesi sebagai nelayan
mengikuti jejak ayahnya. Namun ketika musim Meuseuke Engkot datang, ia kembali
menekuni profesi sebagai pengemudi RBT.
Syam begitu mensyukuri anugerah
Allah atas kebahagiaan yang diterimanya. Selain istri yang cantik dan alim,
Aisyah mampu tampil sebagai pendamping hidupnya yang setia bersama dalam suka
maupun duka. Kebahagiaan pun terasa lengkap saat Aisyah mengabarkan
kehamilannya. Mata Syam berkaca-kaca, terharu mendengar kabar menyenangkan itu.
Dipeluknya Aisyah erat-erat dan mencium keningnya dengan mesra.
Sampai akhirnya bencana tsunami itu
merenggut semuanya, termasuk kebahagiaan yang telah ia reguk bersama Aisyah. Ia
masih ingat betul saat gempa dashyat melanda Aceh saat pagi baru membuka
tirainya. Setiap pagi, Syam mempunyai kebiasaan mempersiapkan perahu dan jala
sebelum melaut didepan rumah. Di hari Minggu yang naas itu, gempa mengguncang
dashyat. Syam berlari masuk rumah dan meminta seluruh anggota keluarganya untuk
segera keluar rumah menyelamatkan diri dari kemungkinan lebih buruk. Semua
selamat, termasuk istrinya Aisyah dan kedua mertuanya.
Tiba-tiba air laut surut. Sejumlah
warga berlarian kearah pesisir pantai, melihat ikan-ikan yang terdampar dan
menggelepar-gelepar disana. Tidak berapa lama kemudian gelombang ombak besar
datang menderu dengan kecepatan tak terhingga. Syam dan Aisyah menatap, dinding
air setinggi pohon kelapa yang menerjang, dengan perasaan ngeri.
Syam menggenggam erat tangan
istrinya dan menariknya lari. Sekencang-kencangnya. Ia tidak melihat kedua
mertua yang sebelumnya berada di dekatnya. Sejumlah orang ikut berlari dengan
perasaan panik dan ketakutan luar biasa. Ombak besar datang menggulung, memutar
dan menghempaskan Syam dan Aisyah. Genggaman tangan mereka terlepas. Syam
berusaha menggapai istrinya. Ia berteriak sekuat tenaga memanggil namun
kekuatan ombak raksasa itu tak kuasa dilawannya. Ia tidak ingat apa-apa lagi.
Saat tersadar, ia seperti bangun
dari kematian. Tubuhnya tersangkut di sebuah pohon, sekitar 1 kilometer dari
rumahnya. Ia selamat dari bencana mengerikan itu. Tapi tak ada Aisyah
disampingnya. Rasa sakit menjalari sekujur tubuhnya. Dengan kekuatan yang
tersisa, ia turun dari pohon dan berjalan tertatih mencari Aisyah, istrinya. Ia
memanggil sekuat tenaga dengan harapan yang kian rapuh. Mayat bergelimpangan di
mana-mana. Di jalan, di bawah reruntuhan bangunan, di pohon, di mana saja.
Sambil menahan sakit di sekujur tubuh, Syam membolak-balik setiap mayat yang
ditemuinya.
Tepat di tikungan jalan tempat
Aisyah biasa berbelok menuju ke rumah, ia menghentikan langkah. Tubuh Aisyah
tergeletak di bawah pohon mangga, tempat ia biasa berteduh dan menoleh sambil
tersenyum, ke arah Syam yang sedang duduk menguntitnya dengan motor RBT. Jilbab
putih istrinya sudah berubah warna menjadi coklat gelap lumpur. Syam memeluk
istrinya erat-erat, menciumnya, mengalirkan kehangatan dan cinta kasihnya yang
tak terhingga. Ia mencoba menemukan kerjap indah mata biru Aisyah, tapi
sia-sia. Mata istrinya telah tertutup untuk selama-lamanya. Kepedihan luar
biasa melanda batinnya.
Saat itu Aisyah sedang mengandung 2
bulan, hasil buah kasih cinta mereka.
****
Syam menunduk, menekuri tanah tempat
kami duduk.
Aku tertegun menyimak kisah
hidupnya. Malam mulai turun dan desau angin laut terasa menggigilkan tubuh. Aku
menghela nafas panjang. Sungguh berat penderitaan yang dialami lelaki muda ini.
“Mari kita pulang ke barak, Bung
Syam,” ajakku sembari bangkit.
Ia tak bergeming sedikitpun.
“Hidup kita masih harus terus
berlanjut Bung Syam. Tidak berhenti sampai disini. Putus asa tidak akan menyelesaikan
semuanya dan mengembalikan Aisyah kembali di sisi Anda. Yang paling penting
saat ini, Anda mesti merelakan kepergian Aisyah sebagai takdir yang sudah
digariskan dari Allah, Tuhan penguasa semesta alam. Untuk kemudian bangkit
melanjutkan hidup lebih tegar dan bermakna sebagai bagian dari fitrah
ke-khalifahan kita dimuka bumi,” tuturku tenang.
Syam mengangkat wajah. Ia
memandangku. Mata birunya seperti terluka, tapi aku melihat secercah cahaya
harapan disana. Pandangannya beralih kedepan. Kedua tangannya bertumpu pada
lututnya. Ia menghela nafas panjang lalu mengangguk pelan.
Aku menepuk pundak Syam dan
membantunya bangkit dari tempat duduk lalu berjalan bersamanya. Samar-samar aku
mendengar debur ombak menghempas pantai seperti mendendangkan tembang pilu.
Tentang kenangan yang tenggelam, tentang mimpi-mimpi yang hilang.
Kamis, 02 Februari 2012
Ada sebuah keluarga di Lhok Nga - Aceh yang selalu
menanamkan ajaran Islam dalam kesehariannya. Mereka adalah keluarga Umi Salamah
dan Abi Usman. Mereka memiliki 4 bidadari yang solehah: Alisa Fatimah (si
kembar) Alisa Zahra & Alisa Aisyah dan si bungsu Alisa Delisa.
Setiap subuh Umi Salamah selalu
mengajak bidadari-bidadarinya sholat jama'ah. Karena Abi Usman bekerja sebagai
pelaut di salah satu kapal tanker perusahaan minyak asing - Arun yang pulangnya
3 bulan sekali. Awalnya Delisa susah sekali dibangunkan untuk sholat subuh.
Tapi lama-lama ia bisa bangun lebih dulu ketimbang Aisyah. Setiap sholat
jama'ah Aisyah mendapat tugas membaca bacaan sholat keras-keras agar Delisa
yang ada di sampingnya bisa mengikuti bacaan sholat itu.
Umi Salamah mempunyai kebiasaan
memberikan hadiah sebuah kalung emas kepada anak-anaknya yang bisa menghafal
bacaan sholat dengan sempurna. Begitu juga dengan Delisa yang sedang berusaha
untuk menghafal bacaan sholat agar sempurna. Agar bisa sholat dengan khusyuk.
Delisa berusaha keras agar bisa menghafalnya dengan baik. Selain itu Abi Usman
pun berjanji akan membelikan Delisa sepeda jika ia bisa menghafal bacaan sholat
dengan sempurna
Sebelum Delisa hafal bacaan sholat
itu Umi Salamah sudah membelikan seuntai kalung emas dengan gantungan huruf D
untuk Delisa. Delisa senang sekali dengan kalung itu. Semangatnya semakin
menggebu-gebu. Tapi entah mengapa Delisa tak pernah bisa menghafal bacaan
sholat dengan sempurna.
26 Desember 2004
Delisa bangun dengan semangat. Sholat
subuh dengan semangat. Bacaannya nyaris sempurna kecuali sujud. Bukannya
tertukar tapi tiba-tiba Delisa lupa bacaan sujudnya. Empat kali sujud empat
kali Delisa lupa. Delisa mengabaikan fakta itu. Toh nanti pas di sekolah ia
punya waktu banyak untuk mengingatnya. Umi ikut mengantar Delisa. Hari itu
sekolah ramai oleh ibu-ibu. Satu persatu anak maju dan tiba giliran Alisa
Delisa. Delisa maju Delisa akan khusuk. Ia ingat dengan cerita Ustad Rahman
tentang bagaimana khusuknya sholat Rasul dan sahabat-sahabatnya.
"Kalo orang yang khusuk
pikirannya selalu fokus. Pikirannya satu." Nah jadi kalian sholat harus
khusuk. Andaikata ada suara ribut di sekitar tetap khusuk.
Delisa pelan menyebut
"ta'awudz". Sedikit gemetar membaca "bismillah". Mengangkat
tangannya yang sedikit bergetar meski suara dan hatinya pelan-pelan mulai
mantap. "Allahu Akbar".
Seratus tiga puluh kilometer dari
Lhok Nga. Persis ketika Delisa usai bertakbiratul ihram persis ucapan itu
hilang dari mulut Delisa. Persis di tengah lautan luas yang beriak tenang.
LANTAI LAUT RETAK SEKETIKA. Dasar bumi terban seketika! Merekah panjang ratusan
kilometer. Menggentarkan melihatnya. Bumi menggeliat. Tarian kematian mencuat.
Mengirimkan pertanda kelam menakutkan.
Gempa menjalar dengan kekuatan
dahsyat. Banda Aceh rebah jimpa. Nias lebur seketika. Lhok Nga menyusul. Tepat
ketika di ujung kalimat Delisa tepat ketika Delisa mengucapkan kata
"wa-ma-ma-ti" lantai sekolah bergetar hebat. Genteng sekolah
berjatuhan. Papan tulis lepas berdebam menghajar lantai. Tepat ketika Delisa
bisa melewati ujian pertama kebolak-baliknya Lhok Nga bergetar terbolak-balik.
Gelas tempat meletakkan bunga segar
di atas meja bu guru Nur jatuh. Pecah berserakan di lantai satu beling
menggores lengan Delisa. Menembus bajunya. Delisa mengaduh. Umi dan ibu-ibu
berteriak di luar. Anak-anak berhamburan berlarian. Berebutan keluar dari daun
pintu. Situasi menjadi panik. Kacau balau. "GEMPAR"!
"Innashalati wanusuki wa-ma...
wa-ma... wa-ma-yah-ya wa-ma-ma-ti..."
Delisa gemetar mengulang bacaannya
yang tergantung tadi. Ya Allah Delisa takut... Delisa gentar sekali. Apalagi
lengannya berdarah membasahi baju putihnya. Menyemburat merah. Tapi bukankah
kata Ustadz Rahman sahabat Rasul bahkan tetap tak bergerak saat sholat ketika
punggungnya digigit kalajengking?
Delisa ingin untuk pertama kalinya
ia sholat untuk pertama kalinya ia bisa membaca bacaan sholat dengan sempurna
Delisa ingin seperti sahabat Rasul. Delisa ingin khusuk ya Allah...
Gelombang itu menyentuh tembok
sekolah. Ujung air menghantam tembok sekolah. Tembok itu rekah seketika. Ibu
Guru Nur berteriak panik. Umi yang berdiri di depan pintu kelas menunggui
Delisa berteriak keras ... SUBHANALLAH! Delisa sama sekali tidak mempedulikan
apa yang terjadi. Delisa ingin khusuk. Tubuh Delisa terpelanting. Gelombang
tsunami sempurna sudah membungkusnya. Delisa megap-megap. Gelombang tsunami
tanpa mengerti apa yang diinginkan Delisa membanting tubuhnya keras-keras.
Kepalanya siap menghujam tembok sekolah yang masih bersisa. Delisa terus memaksakan
diri membaca takbir setelah "i'tidal..."
"Al-la-hu-ak-bar..." Delisa harus terus membacanya! Delisa tidak
peduli tembok yang siap menghancurkan kepalanya.
Tepat Delisa mengatakan takbir
sebelum sujud itu tepat sebelum kepalanya menghantam tembok itu selaksa cahaya
melesat dari "Arasy Allah." Tembok itu berguguran sebelum sedikit pun
menyentuh kepala mungil Delisa yang terbungkus kerudung biru. Air keruh mulai
masuk menyergap Kerongkongannya. Delisa terbatuk. Badannya terus terseret. Tubuh
Delisa terlempar kesana kemari. Kaki kanannya menghantam pagar besi sekolah.
Meremukkan tulang belulang betis kanannya. Delisa sudah tak bisa menjerit lagi.
Ia sudah sempurna pingsan. Mulutnya minum berliter air keruh.
Tangannya juga terantuk batang kelapa yang terseret bersamanya. Sikunya patah. Mukanya penuh baret luka dimana-mana. Dua giginya patah. Darah menyembur dari mulutnya.
Tangannya juga terantuk batang kelapa yang terseret bersamanya. Sikunya patah. Mukanya penuh baret luka dimana-mana. Dua giginya patah. Darah menyembur dari mulutnya.
Saat tubuh mereka berdua mulai
perlahan tenggelam Ibu Guru Nur melepas kerudung robeknya. Mengikat tubuh
Delisa yang pingsan di atas papan sekencang yang ia bisa dengan kerudung itu.
Lantas sambil menghela nafas penuh arti melepaskan papan itu dari tangannya
pelan-pelan sebilah papan dengan Delisa yang terikat kencang diatasnya.
"Kau harus menyelesaikan
hafalan itu sayang...!" Ibu Guru Nur berbisik sendu. Menatap sejuta makna.
Matanya meredup. Tenaganya sudah habis. Ibu Guru Nur bersiap menjemput syahid.
Minggu 2 Januari 2005
Dua minggu tubuh Delisa yang penuh
luka terdampar tak berdaya. Tubuhnya tersangkut di semak belukar. Di sebelahnya
terbujur mayat Tiur yang pucat tak berdarah. Smith seorang prajurit marinir AS
berhasil menemukan Delisa yang tergantung di semak belukar tubuhnya dipenuhi
bunga-bunga putih. Tubuhnya bercahaya berkemilau menakjubkan! Delisa segera
dibawa ke Kapal Induk John F Kennedy. Delisa dioperasi kaki kanannya
diamputasi. Siku tangan kanannya di gips. Luka-luka kecil di kepalanya dijahit.
Muka lebamnya dibalsem tebal-tebal. Lebih dari seratus baret di sekujur
tubuhnya.
Aisyah dan Zahra mayatnya ditemukan
sedang berpelukan. Mayat Fatimah juga sudah ditemukan. Hanya Umi Salamah yang
mayatnya belum ditemukan. Abi Usman hanya memiliki seorang bidadari yang masih
belum sadar dari pingsan. Prajurit Smith memutuskan untuk menjadi mu'alaf
setelah melihat kejadian yang menakjubkan pada Delisa. Ia mengganti namanya
menjadi Salam.
Tiga minggu setelah Delisa dirawat
di Kapal induk akhirnya ia diijinkan pulang. Delisa dan Abi Usman kembali ke
Lhok Nga. Mereka tinggal bersama para korban lainnya di tenda-tenda pengungsian.
Hari-hari diliputi duka. Tapi duka itu tak mungkin didiamkan berkepanjangan.
Abi Usman dan Delisa kembali ke rumahnya yang dibangun kembali dengan sangat
sederhana.
Delisa kembali bermain bola Delisa
kembali mengaji Delisa dan anak-anak korban tsunami lainnya kembali sekolah
dengan peralatan seadanya. Delisa kembali mencoba menghafal bacaan sholat
dengan sempurna. Ia sama sekali sulit menghafalnya. "Orang-orang yang
kesulitan melakukan kebaikan itu mungkin karena hatinya Delisa. Hatinya tidak
ikhlas! Hatinya jauh dari ketulusan." Begitu kata Ubai salah seorang
relawan yang akrab dengan Delisa.
21 Mei 2005
Ubai mengajak Delisa dan
murid-muridnya yang lain ke sebuah bukit. Hari itu Delisa sholat dengan bacaan
sholat yang sempurna. Tidak terbolak-balik. Delisa bahkan membaca doa dengan
sempurna. Usai sholat Delisa terisak. Ia bahagia sekali. Untuk pertama kalinya
ia menyelesaikan sholat dengan baik. Sholat yang indah. Mereka belajar
menggurat kaligrafi di atas pasir yang dibawanya dengan ember plastik. Sebelum
pergi meninggalkan bukit itu Delisa meminta ijin mencuci tangan di sungai dekat
dari situ.
Ketika ujung jemarinya menyentuh
sejuknya air sungai. Seekor burung belibis terbang di atas kepalanya.
Memercikkan air di mukanya. Delisa terperanjat. Mengangkat kepalanya. Menatap
burung tersebut yang terbang menjauh. Ketika itulah Delisa menatap sesuatu di
seberang sungai.
Kemilau kuning. Indah menakjubkan
memantulkan cahaya matahari senja. Sesuatu itu terjuntai di sebuah semak
belukar indah yang sedang berbuah. Delisa gentar sekali. Ya Allah! Seuntai
kalung yang indah tersangkut. Ada huruf D disana. Delisa serasa mengenalinya. D
untuk Delisa. Diatas semak belukar yang merah buahnya. Kalung itu tersangkut di
tangan. Tangan yang sudah menjadi kerangka. Sempurna kerangka manusia. Putih.
Utuh. Bersandarkan semak belukar itu.
UMMI...............
Puisi Tsunami :K E K A L U T A N B E N C A N A
romahamzani
Maret 09, 2005
Cahaya kota dalam kegelapanMaret 09, 2005
Menjanjikan sebuah harapan
Dalam kenangan adalah indah
Menjelma hamparan yang lara dan gundah
Kini dalam tatapan kosong
Bertaburan udara kelam dalam hening
Cinta, hidup, harta adalah maya
Permainan, pekerjaan adalah belaka
Kenangan berlalu dalam kebisuan
Kesenangan berbaur dalam kenistaan
Entah, apa yang telah diperbuat
Segala kesengsaraan telah menjelma kehidupan
Dalam hitungan sebuah kedipan
Ladang yang elok dan asri
Menjadi sebuah kuburan yang ngeri
Berhamparan tubuh pucat dan kaku
Panggilan jiwa, tenggelam dalam hangatnya kalbu
Udara dingin telah menghantui luka
Kehangatan yang didambakan menjadi neraka
Sebuah teguran telah datang
Dalam surat goncangan dalam gelombang
Dalam teriakan demi teriakan
Mereka menggapai cahaya keselamatan
Dalam terpaan air bah
Mereka meratapi goresan yang salah
Dalam tangisan panjang
Mereka tenggelam dalam arus
Derai air mata, membanjiri dunia ini
Jeritan-jeritan menyayat hati
Berbagai anak manusia larut dalam duka
Meratapi sebuah kedasyatan dalam bencana
Ya Allah ….., Ya Allah ….., Ya Allah …..
Betapa berat cobaan yang diberikan
Pada diri kami yang t’lah menyulap Serambi Mekkah menjadi Dunia yang Fana
Ya, Engkau Maha Esa, Maha Agung, Maha Kuasa dan Maha dari segala Maha
Tetapi dunia ini maya
Dalam sebuah kebohongan derita
Tangisan dunia dalam kedustaan
Tertera dalam raut muka dan lidah kepalsuan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar